Setiap kali ada peristiwa ledakan bom bunuh diri, hanya satu kata yang bisa mewakili perasaan saya: malu. Betapa tidak, kita umumnya (mayoritas), meyakini bahwa Islam adalah agama damai, anti-kekerasan. Kata Islam itu sendiri bermakna aman, selamat, damai. Kata Muslim itu subyek (Arab: fa’il), yakni orang yang menebar rasa aman. Keyakinan itu tidak hanya terhunjam di sanubari, tetapi juga kita artikulasikan melalui kata-kata dan tindakan. Di banyak kesempatan kita mempromosikan Islam sebagai agama kedamaian, agama toleransi. Tidak sebatas kata, dalam segala tingkah laku, kita pun berusaha sedemikian hingga ikut berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sayangnya, karakteristik Islam sebagai agama kedamaian, yang itu menjadi keyakinan mayoritas Muslim, acap kali dibajak oleh sekelompok kecil Muslim (minoritas) melalui aksi-aksi radikal yang mengatasnamakan Islam, dengan dalih jihad fi sabilillah (perang suci). Akibatnya, citra Islam menjadi buruk. Ironisnya, yang terkena dampak negatifnya adalah Islam secara umum dan kaum Muslim secara mayoritas. Akibat adanya aksi-aksi itu, seakan-akan Islam itu identik dengan kekerasan, dan Muslim itu identik dengan kaum fundamentalis.
Banyak analisis berseliweran terkait peristiwa bom bunuh diri di sebuah gereja di Solo di Minggu pagi (25/9) kemarin. Ada yang menggunakan teori konspirasi, bahwa itu sesungguhnya kerja intelijen asing yang coba merusak citra Islam. Ada lagi, bahwa itu kerja intelijen domestik atas pesanan elite politik dalam negeri untuk mengalihkan isu pemberantasan korupsi. Tetapi, ada pula yang berkomentar sebaliknya, bahwa sel-sel terorisme memang belum pupus di negeri ini (khususnya di Jawa), dan dalam hal ini intelijen kita sudah kecolongan. Sementara itu, tidak sedikit pula intelektual Muslim yang merefleksi-diri, melakukan otokritik, bahwa memang ada “masalah” dengan teks-teks keagamaan kita di satu sisi, serta cara kita (Muslim) memahami teks-teks tersebut di sisi yang lain.
Bias sosio-kultural
Secara pribadi, saya cocok dengan analisis yang terakhir. Bahwa baik Islam sebagai agama, maupun kaum Muslim sebagai entitas umat, keduanya sama-sama memberi kemungkinan untuk dikaitkan dengan, atau digiring pada, aksi radikalisme agama. Yang pertama, Islam, dari sisi doktrin, yang kedua, kaum Muslim, dari sisi kencenderungan keberagaman (baca: cara memahami teks agama). Karakter inilah yang menjadikan keduanya (Islam dan kaum Muslim) mudah dimanfaatkan.
Tetapi, tentu tidak lantas bahwa seluruh doktrin Islam bercorak radikal. Seperti agama-agama besar galibnya, Islam adalah pembawa pesan kedamaian. Islam adalah agama rahmat (QS al-Anbiya’: 107). Namun, harus dipahami pula, bahwa al-Qur’an, sumber utama ajaran Islam itu, tidak turun dalam ruang yang hampa sejarah. Ada konteks sosial-kultural yang melingkupinya. Satu misal saja, bahwa suasana bangsa Arab kala itu adalah masyarakat tradisional dan tribal, di mana budaya primitif seperti perang, perbudakan, dst sangat kental. Sehingga, sangat wajar jika ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengekspresikan semangat tribalistik ini. Misalnya, ada ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan jihad secara fisik, perang (Arab: qital). Memang, mungkin saja perintah itu didasari motif keagamaan (dakwah). Tetapi, kemungkinan besar pula jika dilandasi motif demi meneguhkan identitas kelompok di antara pelbagai faksi tribal keagamaan kala itu (misal: suku bani Nazir, bani Quraizah, kaum Yahudi, kaum Narsani, dst). Sehingga, polarisasi istilah mukmin-musyrik, mukmin-kafir, muslim-munafik, dsb, bisa jadi lebih merupakan kategorisasi yang bersifat politik daripada semata-mata keagamaan. Ini berarti harus diakui banyak ayat al-Qur’an yang biased, yang itu disebabkan konstruksi sosial-budaya yang sangat kental di masyarakat pada saat ia diturunkan.
Pertanyaannya, apakah ayat-ayat tentang jihad, perang, dsb yang nota bene biased itu musti dibaca dan dipahami apa adanya (tekstualistik), ataukah kita jumput pesan kemanusiaan di baliknya dengan melihat konteks sosial turunnya (hermeneutik)? Apakah ayat-ayat itu sudah kedaluwarsa, atau berlaku universal tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi kemanusiaan yang dinamis?
Paradigma Ortodoksi
Atas pertanyaan di atas, kaum ortodoks menggeneralisir bahwa kebenaran Tuhan terwujud dalam setiap butir huruf dari teks al-Qur’an dan hadis. Para sarjana Muslim ortodoks, misalnya, dari dulu hingga sekarang sangat kukuh menganut prinsip, “Idza shahhal-hadits fahuwa madzhabi” (terj: Jika sebuah nash/hadis terbukti kesahihannya, maka itulah mazhab/aliran-ku). Lalu, kebenaran itu diyakini bersifat mutlak, dan karenanya melintasi segala waktu dan tempat. Ketika berhadapan dengan realitas sosial, maka nash-lah yang diunggulkan. Realitas sosial musti tunduk di bawah otoritas nash. Argumennya jelas, yang pertama berasal dari Tuhan (melalui wahyu dan nabi yang maksum/suci), sedangkan yang kedua merupakan buah pergulatan sosial manusia yang nisbi sepeninggal Nabi.
Paradigma ortodoksi inilah yang dipilih oleh kalangan Muslim radikal (militan) dalam memahami nash-nash agama. Konstruks nilai tertentu yang diproduksi pada zaman Nabi dan terdokumentasikan dalam teks-teks suci agama (baca: teks-teks tentang jihad dan perang), tanpa mempedulikan biased atau tidak, dianggap sebagai formulasi universal dan ideal, yang harus dirujuk dalam kondisi apa pun, termasuk di dalamnya bagaimana cara pandang kita kepada penganut agama lain. Sampai di sini, lalu tumbuhlah sikap eksklusivisme agama itu, yang memandang penganut keyakinan lain kafir dan musuh, sehingga layak diperangi dan halal darahnya. Na’udzubillah.
Soal Pendekatan
Memang, pada akhirnya kembali pada soal pilihan kita ihwal pendekatan dalam memahami atau menafsirkan teks agama. Pendekatan itulah yang akan menentukan cara pandang kita terhadap suatu fenomena keagamaan. Pendekatan yang dipilih oleh kaum fundamentalis adalah orotodoksi (tekstualisme) an-sich, tanpa pemahaman yang kritis tentang konteks historis saat teks itu muncul, sehingga melahirkan cara pandang yang eksklusif kepada non-Muslim; bahwa siapa pun yang tidak menganut agama Islam adalah “the other” yang, dalam skala tertentu, merupakan musuh yang layak diperangi dan halal darahnya.
Berseberangan dengan kaum fundamentalis adalah kaum sufi (mistikus Islam). Mereka terkenal dengan pendekatannya yang tidak kaku (formalistik) dalam memahami teks-teks agama. Sebaliknya, mereka justru coba menelusuri dimensi batin (esensial) dari setiap fenomena teks (nash). Terkait dengan hubungan antar agama, pendekatan kaum sufi adalah perenialisme, yakni suatu wawasan yang lebih menekankan pada dimensi essoterik (batin) agama, bukan dimensi eksoterik (lahiriah)-nya. Menurut Frithjof Schuon (M Isa Nuruddin), semua manusia secara naluriah (fitrah) ingin mendekat ke Tuhan (baca: beragama), inilah dimensi essoterik. Hanya saja, cara atau jalannya berbeda-beda. Cara atau jalan inilah yang kemudian disebut agama, hal mana di dalamnya tercakup ritual, moral, dst, yang bersifat khas, dan ini semua dimensi eksoteriknya. Orang yang terpaku pada eksoterisme, cenderung eksklusif, memandang orang lain agama sebagai “yang lain”, bahkan mungkin musuh. Sebaliknya, yang konsern pada essoterisme, cenderung inklusif, bisa menyelami dan memahami keyakinan lain yang berbeda, sehingga tumbuhlah sikap-sikap toleransi. Sebab, seperti kata Jalaluddin Rumi, manusia tidak memilih agamanya, tetapi Tuhan-lah yang memilihkan agama untuknya. Ini berarti bahwa keberagamaan seseorang itu bersifat sakral, sehingga sangat tidak etis alias amoral ketika kita mencela, merendahkan, mendiskreditkan seseorang hanya karena faktor agama yang dianutnya.
Dalam selaksa syairnya, Syekh Abdul Karim al-Jili (murid Ibn Arabi) menulis: Waqad kuntu qablal yaumi un-kiru shahibi//Idza lam yakun dini ila dinihi dani//waqad shara qalbi qabilan kulla shuratin// famar'a li ghazlanin wa dairun liruhbani//wa baitun li autsanin wa ka'batu tha-ifin//wa alwahu tauratin wa mush-hafu Qur'ani//adinu bi dinil hubbi anna tawajjahat//raka-ibuhu fal hubbu dini wa imani , artinya kurang lebih: Sungguh sebelum hari ini aku tak mau bersahabat dengan teman yang tidak seagama denganku. Namun sekarang, hatiku menerima segala perbedaan. Hatiku ibarat padang rumput bagi setiap rusa. Hatiku tak ubahnya rumah bagi pendeta, kuil bagi berhala, Kakbah bagi yang tawaf; hatiku laksana lembaran taurat dan mushaf Qur’an. Aku memeluk agama cinta, kemana pun ia melaju. Sekali lagi, cinta agamaku dan imanku.
Syair-syair di atas tentu tidak hendak menunjukkan paham sinkretisme agama si penulis, sebab kita tahu bahwa ia seorang Muslim, pengikut Syaikhul Akbar Ibnu Arabi. Tetapi, itu merupakan ekspresi batin seorang Muslim yang telah sampai di dasar hati-sanubari dalam menyelami spiritualitas penganut agama lain. Ia bukan sekadar mengakui keimanan dan eksistensi kaum non-Muslim, tetapi lebih dari itu memahami sedalam-dalamnya konsep dan sistem dari keyakinan yang mereka, sehingga ia tidak lagi terpaku pada formalisme keagamaan masing-masing, tetapi esensi sepiritualiasnya. Manakala ini yang jadi patokannya, maka tidak ada alasan untuk menjaga jarak dengan orang lain hanya karena ia lain agama. Sebaliknya, yang ada adalah rasa cinta dan kasih sayang (mahabbah) antar sesama yang didasari oleh rasa saling memahami keyakinan satu sama lain.Wallahu a’lam. (*)
==Sabrur Rohim, Eksponen MWI th 1994==
Selengkapnya