Ustadz Robbani dan Alm. Ustadz Marjuned sebelum menjadi staff pengajar di MWI Karangduwur pernah mengenyam pendidikan di Ponpes Maskumambang Gresik. Apa dan Apa Pondok Ini sebetulnya ? Mari kita lacak dan kita simak sejarahnya ...
PONDOK PESANTREN MASKUMAMBANG GRESIK
http://www.maskumambang.ac.id/
Visi : Beraqidah Shohihah
Misi : Mengamalkan Aqidah Islamiyah secara murni dan Konsekuen
Menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan syirik dan yang membawa kepada syirik
Visi : Beramal sholeh
Misi :1. Mengerjakan ritual ibadah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, dan menjauhi amalan- amalan bid’iyah.
2. Menjadikan keseluruhan kehidupan Rasulullah sebagai Uswah Hasanah
3. Menanamkan semangat memperjuangkan izzul islam wal muslimin dalam kerangka mewujudkan kemajuan serta kemuliaan banghsa dalam ridha Allah
Visi : Berilmu Manfaat
Misi :1. Mengklasidikasikan keahlian/profesionalisme kinerja para staf Pemangku Pesantren, para pengelola serta guru Pesantren
2. Mencintai ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Mengutamakan Bahasa Arab dan Inggris sebagai alat untuk memahami literature dalam kedua bahasa tersebut, di samping sebagai alat untuk berkomunikasi
4. Terampil dalam menjalani hidup
Visi : Berakhlaq karimah
Misi :1. Mengupayakan secara sungguh-sungguh terbentuknya pribadi muslim yang memiliki sifat-sifat terpuji
2. Menghindarkan diri dan lingkungan dari sifat-sifat tercela
3. Beradab, sopan dan santun
4. Memberi rasa aman, damai terhadap lingkungan
Sejarah Pon. Pes. Maskumambang
Friday, 14 January 2011 00:00
Pondok Pesantren Maskumambang didirikan pada tahun 1859 M./1281 H. oleh K.H. Abdul Djabbar sebagai usaha beliau untuk mencetak kader-kader da’i yang diharapkan dapat menghapus kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam
Pada awal berdirinya, Pesantren Maskumambang yang terletak di Desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur, ( + 40 KM arah barat laut Kota Surabaya ) hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itupun terbatas pada pelajaran al-Qur’an dan tafsir,serta fiqih.
Metode yang dipergunakan juga masih terbatas pada metode sorogan, bandongan, dan halaqoh Pada tahun 1907 M. bertepatan dengan tahun 1325 H. K.H. Abdul Djabbar berpulang ke Rahmatullah dalam usia 84 tahun, dan kepemimpinan pesantren diteruskan K.H. Moch. Faqih yang terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang.
Pada masa kepemimpinan KH. Moch Faqih Pondok Pesantren Maskumambang mengalami perubahan yang cukup berarti. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain .
Pada tahun 1937 M. bertepatan dengan tahun 1353 H. K.H. Moch. Faqih berpulang ke Rahmatullah dalam usia 80 tahun dan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang diteruskan oleh putra beliau yang keempat yaitu KH.Ammar Faqih.
Pada masa kepemimpinan KH.Ammar Faqih, selain sebagai tempat mengaji atau memperdalam ilmu agama lewat pelajaran al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab kuning lainnya, oleh KH. Nadjih Ahjad yang saat itu sudah ikut mengasuh Pesantren Maskumambang,, diselenggarakan pula Madrasah Banat (madrasah putri).
Selain itu Pondok Pesantren Maskumambang juga dijadikan markas para pejuang kemerdekaan dari Gresik, Surabaya dan Lamongan.
Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965 M. K.H. Ammar Faqih berpulang ke Rahmatullah. Sebelum berpulang ke Rahmatullah beliau telah menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada menantu beliau yang kedua, yaitu K.H. Nadjih Ahjad.
Dalam memimpin pesantren KH.Nadjih Ahjad melakukan pembaruan-pembaruan dalam bidang kelembagaan, organisasi, metode dan sistem pendidikan, kurikulum, serta Bidang sarana / Prasarana..
A. Bidang Kelembagaan
Dalam bidang kelembagaan KH.Nadjih Ahjad merubah sistem pengelolaan pesantren dengan cara mendirikan Yayasan yang mengelola Pendidikan di Pondok Pesantren Maskumkambang bernama Yayasan Kebangkitan Ummat Islam (YKUI).
Dengan didirikannya yayasan ini maka pemisahan antara aset pondok dan aset pribadi dilakukan dengan jelas sehingga memungkinkan pengelolaan keuangan pondok secara lebih transparan dan akuntabel.
B. Bidang Organisasi
Dalam bidang organisasi, KH.Nadih Ahjad membentuk institusi-institusi baru yang diperlukan oleh santri, seperti Kopontren, IPPPM, Perpustakaan, Work Shop, UKS, dan Gugus Depan Pramuka. Beliau juga membentuk institusi-institusi yang dibutuhkan masyarakat luas, seperti : Pengajian Takhassus, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) JAMAAH MASKUMAMBANG (JM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), dan DP3M.
Untuk memudahkan pengorganisasian kegiatan agar menjadi efektif dan efisien, beliau mengangkat para staf pemangku pesantren yang terdiri dari Staf Pemangku pesantren bidang kemadrasahan, bidang non formal, bidang keuangan , bidang pembangunan dan lurah pondok
Adapun tugas para staf pemangku pesantren tersebut adalah :
Staf Kemadrasahan
Bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Maskumambang.
Sebagai penanggung Jawab aktifitas pendidikan formal, Staf Kemadrasahan Berupaya mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara melakukan standardisasi pendidikan yang selain mengacu pada standar
Nasional Pendidikan, juga mengacu kepada kebutuhan ilmu pengetahuan lain yang seiring sebangun dengan kemajuan zaman.
Standardisasi yang telah dilaksanakan meliputi :
Standardisasi isi/materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan,kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh siswa/santri pada setiap jenjang pendidikan di lingkunganPondok Pesantren Maskumambang Untuk pelajaran yang menjadi ciri khas Pondok Pesantren Maskumambang,yakni bidang pemahaman Tauhid yang bersih dari syirik dan pehaman ibadah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW., Pemangku Pesantren telah menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Arab yang terdiri dari :
- At-Tibyan fi ahkamil ‘Amaliyah (Pelajaran Fiqih)
- At-Tibyan fil ‘Aqa’id (pelajaran Tauhid).
Di samping dilakukan dengan cara menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Arab, upaya yang dilakukan oleh pesantren untuk memperdalam penguasaan Bahasa Arab dan Inggris, adalah dengan menyelenggarakan Dauroh Lughowiyah (Bahasa Arab) bagi siswa baru Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan dan English Training (Bahasa Inggris) bagi siswa baru MTs dan Madrasah Aliyah jurusan IPA dan IPS.
Dengan demikian Para siswa akan dengan mudah mengikuti pelajaran di kelas yang memakai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai pengantar Pelajaran.
Standardisasi Proses Pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan
Standardisasi Kompetensi Lulusan sebagai pedoman penilain dalam penentuan kelulusan siswa/santri yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Standardisasi Pendidik dan tenaga Kependidikan sebagai pedoman untuk meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang ada sehingga benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya. Untuk memenuhi standardisasi tersebut, telah dibentuk Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mulai dari tingkat MI sampai dengan tingkat MA/SMK yang bertugas mengawal serta bertanggungjawab atas kesuksesan siswa meraih prestasi lebih tinggi dari standar ketuntasan belajar minimal , baik untuk ujian Nasional maupun untuk Ujian Maskumambang (UNMAS).
Standardisasi sarana dan prasarana dengan tujuan tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi siswa secara optimal guna tercapainya tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Maskumambang.
Standardisasi Pengelolaan yang berkaitan dengan perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. tahun.
Standardisasi Penilaian Pendidikan, meliputi penilain hasil belajar oleh guru mata pelajaran, penilaian hasil belajar oleh lembaga pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Di samping itu, Staf Kemadrasahan bersama Kepala Madrasah/Sekolah dan fihak-fihak terkait juga melakukan kegiatan strategis lainnya, misalnya :
Memperkuat jaringan silaturrahim dan kerjasama antara wali murid dan fihak sekolah/Guru untuk mencari solusi terhadap hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pendidikan dan pelatihan.
Melakukan jejaring dengan pemerintah, institusi-institusi swasta, dunia usaha/ industri dengan tujuan untuk penempatan/penyaluran lulusan
Mendirikan forum konsultasi alumni dan bursa kerja khusus (BKK) sebagai media konsultasi studi lanjut, informasi peluang pekerjaan dan lain-lain.
Staf Non Formal
Bertanggungjawab atas pembinaan organisasi pelajar (IPRA/IPRI), pembinaan HAPPMAS dan penyelenggaraan kegiatan di luar lembaga pendidikan formal yang terdiri dari
Pelatihan komputer dan internet
Pelatihan Kader Koperasi
Latihan Kepemimpinan
Latihan Jurnalistik
Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)
Majalah Dinding dan Buletin
Olahraga Prestasi dan Bela Diri
Latihan Berpidato dalam
Bahasa Indonesia, Arab, Inggris dam Jawa.
Keterampilan Produktif
Tata Boga
Tata Busana
Sablon
Teater dalam Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris
Pramuka
English Conversation Club
Muhadatsah
Pendalaman Agama Islam di luar kurikulum Sekolah
Di samping itu, Staf Non Formal juga bertanggungjawab dalam kegiatan insidentil (kepanitiaan)
Staf Ketatausahaan
Bertanggungjawab atas kelancaran administrasi keuangan Pesantren. Untuk Mengatur Komponen dan besarnya biaya operasional lembaga pendidikan selama satu tahun, Staf Ketatausahaan mengadakan standardisasi pembiayaan.
Staf Pembangunan
Bertanggung jawab membangun, menginventarisir dan memelihara semua aset kekayaan Pesantren baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak., termasuk mempertanggungjawabkan kelancaran/ ketertiban administrasi keuangan pembangunan.
Staf Lurah Pondok
Bertanggung jawab terhadap :
Ketertiban, kelancaran dan keamanan serta kemajuan pendidikan/ pelatihan dalam pondok,baik yang berupa program Madrasah Diniyah maupun kegiatan pengajian lainnya.
mendampingi santri dalam mengaplikasikan nilai nilai agama dalam bentuk prilaku sehari-hari serta membimbing santri dalam memahami bahkan meningkatkan pemahaman dan penalaran pelajaran/materi yang diajarkan di Madrasah/sekolah. Sejak tahun 2006 Pesantren menyediakan program bimbingan khusus serta asrama khusus bagi mahasiswa STIT atau lainnya yang berasal dari luar daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya lurah pondok dibantu pengurus asrama putra dan pengurus asrama putri.
Untuk memudahkan kinerja para staf, pemangku pesantren juga mengangkat koordinator staf yang bertugas mengkoordinasikan tugas/kewajiban seluruh staf dan melaporkannya kepada pemangku pesantren.
C. Bidang Kurikulum.
Pembaruan dalam bidang kurikulum dilakukan dengan cara memadukan antara inti pelajaran pesantren yang meliputi Tauhid, Fiqih dan Bahasa dengan kurikulum Nasional serta penambahan pelajaran ketrampilan hidup (life skills) dan olahraga prestasi.
Dengan demikian maka kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Maskumambang mencakup semua kegiatan dalam berbagai bentuknya yang dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan Pondok Pesantren Maskumambang
D. Bidang Metode dan Sistem Pendidikan
Pada bidang Metode dan Sistem Pendidikan, KH.Nadjih Ahjad mulai memperkenalkan sistem pendidikan formal berbentuk Madrasah, sehingga di samping sistem wetonan,bandongan dan sorogan sebagaimana lazimnya di pesantren tradisional, di Pondok Pesantren Maskumambang dilaksanakan pula Madrasah Berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah sampai dengan Aliyah. Bahkan Pondok Pesantren Maskumambang juga memiliki Sekolah Menengah Kejuruan (STM dan SMEA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).
E. Bidang Sarana/Prasarana
Pembaharuan dalam bidang sarana/prasarana mendapat perhatian serius pada masa kepemimpinan KH.Nadjih Ahjad karena ketika beliau mulai memimpin Pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 1965, Pesantren baru memiliki surau dan beberapa kamar saja.
Padahal idealnya sebuah lembaga pendidikan harus memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, dan ruang-ruang lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Juga harus memiliki sarana yang meliputi perabot,peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya yang juga sangat dibutuhkan dalam menunjang proses pembelajaran.
Saat ini,sarana/prasarana pendidikan yang dibutuhkan sebagian besar telah terpenuhi. Sekalipun demikian, penambahan dan renovasi terus dilakukan sejalan dengan tuntutan zaman.
Sarana penunjang pendidikan yang ada di Pesantren Maskumambang terdiri dari :
Ruang –ruang belajar yang representatif.
Perpustakaan putra, putri, dan perpustakaan kampus.
Laboratorium IPA
Biologi
Fisika
Kimia
Ruang Audio Visual dengan Media Pembelajaran Modern, seperti : Televisi, VCD, OHP, Laptop dan LCD Proyektor
Computer Center yang terdiri dari ;
Laboratorium Komputer
Laboratorium rancancang bangun komputer dan jaringan (LAN)
Laboratorium multi media
Laboratorium rekayasa
Perangkat lunak
Internet Center
Bengkel Vocational Skill
a. Bengkel Otomotif roda dua
b. Bengkel Otomotif roda empat
c. Bengkel las
d. Bengkel bubut
e. Bengkel Tata Boga
f. Bengkel Tata Busana
g. Bengkel/Laboratorium penjualan
(Khusus SMK Maskumambang 2/SMEA)
yang dilengkapi dengan cash register dan kalkulator print
Sarana Olahraga :
a. Lapangan basket
b. Lapangan volley ball
c. Lapangan footsal
d. Meja ping-pong
e. Lapangan bulutangkis
Masjid
Aula
Kantin
Asrama putra
Asrama putri
MA'HAD 'ALY (PERGURUAN TINGGI)
Profil Ma'had 'Aly PDF Print E-mail
Written by Administrator
Monday, 11 August 2008 04:22
IDENTITAS
MA'HAD 'ALY ILMU SYARI'AH DAN TARBIYAH
PONDOK PESANTREN MASKUMAMBANG
DUKUN GRESIK JAWA TIMUR
1. Nama : Ma'had 'Aly Ilmu Syari'ah Dan Tarbiyah
1. Nama Mudir Ma'had : Drs. H. Masyhud Bahri
1. No Tanggal SK Mudir : 017/D/S.YKUI/IX/2005
1. Pejabat yang mengangkat : Sekretaris Yayasan Kebangkitan Ummat Islam
1. Alamat Ma'had : Sembungankidul Kecamatan Dukun
Kabupaten Gresik Jawa Timur
a. No Telpon : (031) 3949736, 3941757
b. No Fax : (031) 3941757
c. Kode Pos : 61155
d. Website : www.maskumambang.ac.id
6. Tahun Berdiri : 2005
7. Lembaga Yang Meresmikan : Yayasan Kebangkitan Ummat Islam (YKUI)
Pondok Pesantren Maskumambang
8. Daya Listrik : 2200 watt
Latar Belakang
Pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik adalah salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1859 M./1281 H. oleh KH. Abdul Djabbar sebagai usaha beliau untuk mencetak kader-kader da'i yang diharapkan dapat mengahapus kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Meski dalam perjalanannya mengalami pasang surut, akan tetapi sampai saat ini Pondok Pesantren Maskumambang masih berkomitmen dalam mencetak kader-kader da'i yang diharapkan dapat berda'wah ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan manhaj Rasulullah SAW.
Salah satu upaya untuk meningkatkan program tersebut adalah dengan didirikannya Ma'had 'Aly Ilmu Syari'ah dan Tarbiyah Pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 2005. Dengan Ma'had 'Aly ini diharapakan sedikit banyak dapat mengatasi problematika da'wah tersebut diatas, yaitu dengan menyiapkan da'i dan mubaligh yang mempunyai kafaah tarbawiyah dan syari'ah dalam rangka membimbing ummat menuju jalan yang diridhoi Allah SWT.
Dasar Pemikiran
a. Firman Allah SWT.
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ {122}
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapaorang untuk memperdalam pengatahuan mereka tentang agama dan utnutk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadaanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". (QS. At-Taubah:122)
b. Sada Rasulullah SAW.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكنّ يقبض العلم بقبض العلماء حتّى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤساء جهالا فسألوا فسأفتوا بغير علم فضلّوا وأضلّوا . (رواه أحمد والبخاري والترممذى وابن ماجه)
"Sesungguhnya Allah Tidak mengambil ilmu dengan mengangkatnya dari hamba, akan tetapi mengambil ilmu dengan kamatian para ulama'. Sehingga apabila tidak terdapat orang alim, manusia kan menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, maka jika meraka bertanya maka mereka (para peminpin itu) akan menjawab tidak berdasarkan ilmu, maka (jawabannya) akan sesat dan menyesatkan ". (HR. Ahmad, Bukhori, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Visi Misi
Visi Ma'had 'Aly Ilmu Syari'ah dan Tarbiyah Pondok Pesantren Maskumambang adalah :
Ber’aqidah Shohihah, Beramal Sholeh, Berilmu Manfa’at, dan Berakhlaq Karimah.
Misi Ma'had 'Aly
a. Mengamalkan aqidah islamiyah secara utuh, murni dan konsekwen dengan menjauhkan diri dari perbuatan syirik atau yang membawa kepada syirik.
b. Melaksanakan Ibadah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan menjadikan keseluruhan kehidupan Rasulullah sebagai uswah hasanah
c. Menanamkan sengat memperjuangkan izzul Islam wal muslimin dan mampu memahami kutub at-Turots. Serta terampil dalam menjalani kehidupan bermu'amalah.
d. Mengupayakan secara sungguh-sungguh terbentuknya pribadi muslim yang memiliki sifat-sifat terpuji.
Tujuan
a. Menyiapkan Guru, Da'i atau Mubaligh yang berkemampuan memadai dalam membaca, memahami kutub At-Turots dibidang Aqidah, Syari'ah, Sirah Nabawiyah dan Akhlaq
b. Memenuhi kebutuhan Guru, Da'i atau Mubaligh yang mempunyai kafaah tarbawiyah dan syari'ah dalam rangka merespon keinginan para alumni dan masyarakat luas.
c. Menyiapkan Guru, Da'i atau Mubaligh yang diakui secara akademik sehingga menungkinkan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Program Study
Program Study dan Ma'had 'Aly Ilmu Syari'ah Dan Tarbiyah Pondok Pesantren Maskumambang adalah selama 4 (empat) tahun atau 8 semester dalam 4 marhalah (tahap) sebagai berikut :
1. Marhalah Tamhidiyah (Tahap Permulaan)
Target :
Marhalah ini diharapkan mahasantri mampu mengusai bahasa arab dan ilmu alat untuk membaca Kutub At-Turots. Seperti; Ilmu Nahwu, Ilmu Shorof, Ilmu Balghoh dll.
2. Marhalah Mutawashithoh (Tahap Pengembangan)
Target :
Pada marhalah ini diharapkan mahasantri sudah mampu membaca mengembangkan pemikiran dari Kutub At-Turots yang telah dipeljarinya.
3. Marhalah Mutaqoddimah (Tahap Pengembangan Lanjutan)
Target :
Pada marhalah ini diharapkan mahasantri telah mampu memahami beberapa Kutub at-Turotssecara benar dan mengaplikasikannya dilapangan.
4. Marhalah Tandlij wat Tathbiq (Tahap Pematangan, Praktek dan Pelepasan)
Target :
Pada Marhalah ini diharapkan mahasantri sudah dapat diterjunkan di medan da'wah (Sesuai dengan kebutuhan umat).
Selengkapnya
Minggu, 27 Februari 2011
Sabtu, 26 Februari 2011
Kata dan Revolusi
Pilihan kita atas sebuah kata akan berpengaruh besar dalam membangun kesadaran, membentuk mind-set, sehingga akhirnya menentukan nasib hidup. Tindakan dalam menghadapi masalah, erat kaitannya dengan ekspresi kita terhadap masalah itu, yang terartikulasi dalam formulasi kata yang kita pilih. Itulah tesis Karen Lebacqz, seorang aktivis gender Amerika. Kata yang kita pilih, demikian Karen, akan menentukan langkah kita untuk berubah, atau sebaliknya: kita tak beranjak sejengkal pun.
Karen mencontohkan, seorang perempuan akan diam saja, meratap, atau cukup menyesali diri, ketika merasa bahwa dirinya sedang depresi atau stres. Namun jika dirinya merasa ditindas, ia mungkin akan beranjak bangkit, melawan, mencanangkan perubahan (revolusi) bagi nasibnya. Jadi, muaranya pada soal pilihan kata: depresi atau ditindas?
Ada seorang istri yang tetap sabar meladeni suaminya yang gemar melakukan KDRT. Kalau kondisi ini diamini, tak akan ada perubahan dalam kehidupan rumahtangganya. Entah sampai kapan. Bukankah sabar tiada batasnya? Di sisi lain, jika si suami juga mengamini hal itu, ia akan emoh berubah. Ia malah berpikir, kelakuannya justru untuk menguji kesabaran istri.
Keadaan akan berubah jika istri menyadari bahwa yang ia rasakan adalah penindasan, yang tak ada hubungannya dengan sabar atau tabah. Sejurus kemudian ia akan mengambil tindakan yang dirasa efektif (mengubah keadaan): melawan, atau menuntut secara hukum. Sebaliknya, jika kesadaran ini menghinggapi suami, maka dia akan segera mengakui bahwa kelakuannya selama ini adalah kezaliman, dan karenanya, demi fitrah manusianya, dia akan mengubah perilakunya.
Jika ditarik ke ranah politik, tesis Karen ini menemukan titik singgungnya. Fase atau momentum perubahan di dunia politik, misalnya, bisa jadi ditentukan oleh pilihan kata, baik oleh penyelenggara negara, rakyat, dst. Dalam konteks ini, kata tak ubahnya menjadi “dunia pandang” (world-view) yang mendasari sikap dan perilaku politik.
Kenapa, misalnya, pemimpin mengabaikan rakyat? Bukankah mereka diangkat untuk melayani rakyat? Dari sudut pandang rakyat, memang idealnya seperti itu, bahwa rakyat memilih pemimpin demi mendelegasikan amanat kedaulatan, yang dengan itu mereka akan dihampirkan pada kesejahteraan. Masalahnya, begitu menduduki kursi kepemimpinan (setelah dipilih), yang bercokol dalam benak si pemimpin terpilih bukan lagi menjadi pelayan atau pengayom publik, melainkan menjadi penguasa. Penguasa itu raja, yang bisa bertindak seenaknya, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, jauh dari kepentingan rakyat. Jadi, muaranya pada pilihan kata: pengayom, pelindung, ataukah penguasa.
Maka wajar, jika suatu saat rakyat akhirnya muak dengan pemimpin yang sudah tidak amanah, yang bukan lagi sebagai pengayom dan pelindung, melainkan penguasa yang justru menzalimi rakyatnya. Itulah yang tengah terjadi hari-hari ini di Afrika dan Timteng. Setelah gerakan rakyat berhasil menggulingkan Ben Ali dan Tunisia serta Mubarak di Mesir, kini Tunisiasi melanda Libya, Yaman, Bahrain, dan Yordania, dengan aneka tuntutan yang sama: ganti pemimpin, amandemen konstitusi!
Yang terjadi di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim itu sepertinya tidak jauh-jauh amat dari tesis Karen, yakni soal pilihan kata, yang kemudian membentuk mind-set. Selama berpuluh tahun rakyat di negeri-negeri itu dijangkiti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, pengekangan kebebasan, sementara kaum penguasanya korups dan bermoral bejat. Tetapi, ironisnya, rakyat tidak mau bergerak melakukan perubahan. Mengapa? Bisa jadi mereka berpikir, bahwa krisis yang menimpa mereka adalah kelumrahan alamiah, takdir Tuhan. Sehingga, sebagai orang beragama (mayoritas Muslim), mereka mengedepankan sikap sabar dan tawakal, sembari berharap datangnya fadhlun ilahi, anugerah Tuhan (mukjizat dan pertolongan). Konon, Tuhan akan menjamin rizki hamba-hamba-Nya yang sabar dan tawakal.
Namun demikian, matahari kesadaran itu akhirnya merekah. Mereka tersadar, bahwa kelumrahan dan takdir ternyata bukan kata yang tepat untuk melihat ironisme hidup yang menimpa mereka. Yang lebih trpat adalah penzaliman luar biasa, sebagai akibat dari manajemen dan sistem pengelolaan negara yang amburadul, karena pemimpin dan aparaturnya tidak becus, korups, dan tunamoral. Karenanya, sikap sabar dan tawakal tidak layak untuk dikedepankan lagi, sebab itu tak akan mengubah keadaan. Tak perlu lagi berlama-lama menunggu fadhlun ilahi (anugerah Tuhan). Yang dibutuhkan adalah kasbun insani, usaha manusia secara nyata, gerakan riil, supaya perubahan bisa cepat terwujud. Yang dibutuhkan adalah revolusi.
Wal alhir, memang benar sabda Nabi Saw: Inna fil-kalami la-sihran (sesungguhnya dalam kata-kata mengandung sihir). Wallahu a’lam.(*)
Oleh: Sabrur R Soenardi, MSI, alumnus MWI 1994, Syariah-PM 2001, dan S2 Filsafat Islam 2007, UIN Sunan Kalijaga
Selengkapnya
Karen mencontohkan, seorang perempuan akan diam saja, meratap, atau cukup menyesali diri, ketika merasa bahwa dirinya sedang depresi atau stres. Namun jika dirinya merasa ditindas, ia mungkin akan beranjak bangkit, melawan, mencanangkan perubahan (revolusi) bagi nasibnya. Jadi, muaranya pada soal pilihan kata: depresi atau ditindas?
Ada seorang istri yang tetap sabar meladeni suaminya yang gemar melakukan KDRT. Kalau kondisi ini diamini, tak akan ada perubahan dalam kehidupan rumahtangganya. Entah sampai kapan. Bukankah sabar tiada batasnya? Di sisi lain, jika si suami juga mengamini hal itu, ia akan emoh berubah. Ia malah berpikir, kelakuannya justru untuk menguji kesabaran istri.
Keadaan akan berubah jika istri menyadari bahwa yang ia rasakan adalah penindasan, yang tak ada hubungannya dengan sabar atau tabah. Sejurus kemudian ia akan mengambil tindakan yang dirasa efektif (mengubah keadaan): melawan, atau menuntut secara hukum. Sebaliknya, jika kesadaran ini menghinggapi suami, maka dia akan segera mengakui bahwa kelakuannya selama ini adalah kezaliman, dan karenanya, demi fitrah manusianya, dia akan mengubah perilakunya.
Jika ditarik ke ranah politik, tesis Karen ini menemukan titik singgungnya. Fase atau momentum perubahan di dunia politik, misalnya, bisa jadi ditentukan oleh pilihan kata, baik oleh penyelenggara negara, rakyat, dst. Dalam konteks ini, kata tak ubahnya menjadi “dunia pandang” (world-view) yang mendasari sikap dan perilaku politik.
Kenapa, misalnya, pemimpin mengabaikan rakyat? Bukankah mereka diangkat untuk melayani rakyat? Dari sudut pandang rakyat, memang idealnya seperti itu, bahwa rakyat memilih pemimpin demi mendelegasikan amanat kedaulatan, yang dengan itu mereka akan dihampirkan pada kesejahteraan. Masalahnya, begitu menduduki kursi kepemimpinan (setelah dipilih), yang bercokol dalam benak si pemimpin terpilih bukan lagi menjadi pelayan atau pengayom publik, melainkan menjadi penguasa. Penguasa itu raja, yang bisa bertindak seenaknya, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, jauh dari kepentingan rakyat. Jadi, muaranya pada pilihan kata: pengayom, pelindung, ataukah penguasa.
Maka wajar, jika suatu saat rakyat akhirnya muak dengan pemimpin yang sudah tidak amanah, yang bukan lagi sebagai pengayom dan pelindung, melainkan penguasa yang justru menzalimi rakyatnya. Itulah yang tengah terjadi hari-hari ini di Afrika dan Timteng. Setelah gerakan rakyat berhasil menggulingkan Ben Ali dan Tunisia serta Mubarak di Mesir, kini Tunisiasi melanda Libya, Yaman, Bahrain, dan Yordania, dengan aneka tuntutan yang sama: ganti pemimpin, amandemen konstitusi!
Yang terjadi di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim itu sepertinya tidak jauh-jauh amat dari tesis Karen, yakni soal pilihan kata, yang kemudian membentuk mind-set. Selama berpuluh tahun rakyat di negeri-negeri itu dijangkiti kemiskinan, pengangguran, kelaparan, pengekangan kebebasan, sementara kaum penguasanya korups dan bermoral bejat. Tetapi, ironisnya, rakyat tidak mau bergerak melakukan perubahan. Mengapa? Bisa jadi mereka berpikir, bahwa krisis yang menimpa mereka adalah kelumrahan alamiah, takdir Tuhan. Sehingga, sebagai orang beragama (mayoritas Muslim), mereka mengedepankan sikap sabar dan tawakal, sembari berharap datangnya fadhlun ilahi, anugerah Tuhan (mukjizat dan pertolongan). Konon, Tuhan akan menjamin rizki hamba-hamba-Nya yang sabar dan tawakal.
Namun demikian, matahari kesadaran itu akhirnya merekah. Mereka tersadar, bahwa kelumrahan dan takdir ternyata bukan kata yang tepat untuk melihat ironisme hidup yang menimpa mereka. Yang lebih trpat adalah penzaliman luar biasa, sebagai akibat dari manajemen dan sistem pengelolaan negara yang amburadul, karena pemimpin dan aparaturnya tidak becus, korups, dan tunamoral. Karenanya, sikap sabar dan tawakal tidak layak untuk dikedepankan lagi, sebab itu tak akan mengubah keadaan. Tak perlu lagi berlama-lama menunggu fadhlun ilahi (anugerah Tuhan). Yang dibutuhkan adalah kasbun insani, usaha manusia secara nyata, gerakan riil, supaya perubahan bisa cepat terwujud. Yang dibutuhkan adalah revolusi.
Wal alhir, memang benar sabda Nabi Saw: Inna fil-kalami la-sihran (sesungguhnya dalam kata-kata mengandung sihir). Wallahu a’lam.(*)
Oleh: Sabrur R Soenardi, MSI, alumnus MWI 1994, Syariah-PM 2001, dan S2 Filsafat Islam 2007, UIN Sunan Kalijaga
Selengkapnya
Label:
Artikel
Jumat, 25 Februari 2011
Berita Jihad
Militan Pakistan Hancurkan 16 Tangki Bahan Bakar NATO
Jumat, 25/02/2011 15:27 WIB
Rombongan logistik NATO luluh lantak diserang sekelompok orang bersenjata di Peshawar, Pakistan. Serangan itu menyebabkan sembilan orang tewas dan 16 dari 40 kendaraan pengangkut bahan bakar milik NATO hancur total.
Aparat berwenang mengatakan, sekelompok militan yang tidak diketahui dari kelompok mana, menyerang dua terminal yang menjadi persinggahan rombongan logistik NATO di kawasan Ring Road di sebelah barat laut Peshawar, pada Kamis (24/2) malam. Selain sembilan orang yang tewas, dua orang lainnya dilaporkan luka-luka.
Para pelaku serangan melarikan diri begitu aparat kepolisian dan tim penyelamat datang ke lokasi kejadian, untuk memadamkan kebakaran yang timbul akibat serangan tersebut.
Di tempat terpisah, kelompok militan juga membakar dua truk tangki bahan bakar milik NATO. Tidak ada korban dalam serangan yang terjadi di distrik distrik Bolan, Baluchistan itu.
Di Khuzdar, masih di provinsi Baluchistan, satu orang tewas dan dua orang luk, ketika sekelompok militan menembaki sebuah kontainer milik NATO.
NATO menggunakan jalan darat dari Pakistan, untuk membawa kebutuhan logistik pasukan AS di Afghanistan. Truk-truk meraka kerap menjadi target serangan kelompok militan saat melintas di wilayah barat laut dan barat daya Pakistan. Dalam dua tahun belakangan ini, NATO kehilangan ratusan kendaraan dan truknya akibat serangan tersebut.
Kelompok pro-Taliban mengklaim sebagai pelaku serangan, dengan dalih pembalasan atas serangan-serangan udara AS di wilayah Pakistan yang sudah banyak menelan korban di kalangan warga sipil. (ln/prtv)
-------------------------------
Jihad di Jalan Allah
Wednesday, 13/05/2009 15:35 WIB
Al-Imam Ibnul-Qayyim telah membuat uraian ringkas mengenai masalah jihad dalam Islam melalui sebuah bukunya yang berjudul Zaadul-Maad dalam fasal yang berjudul “Susunan Petunjuk Rasulullah mengenai Orang Kafir dan Munafiq Sejak Mulai Nabi Dibangkitkan Hingga Beliau Wafat.”
Uraian itu sebagai berikut: “Wahyu yang mula-mula sekali diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah wahyu yang menyuruhnya membaca dengan nama Tuhannya. Wahyu inilah
yang menandakan permulaan kenabian beliau. Dalam peringkat ini, beliau disuruh membaca untuk diri beliau sendiri dan belum disuruh menyampaikannya kepada orang lain.
Kemudian turun pula ayat “Wahai Orang Yang Sedang Berselimut, Bangkit dan Sampaikanlah Ancaman Allah SWT.” Pengangkatan beliau menjadi Nabi melalui surah BACALAH (Iqra’) dan pengangkatan beliau menjadi rasul melalui ayat “Wahai orang yang sedang berselimut” (surah al-Mudattsir: 1 ).
Beliau kemudian disuruh menyampaikan berita ancaman kepada kaum keluarganya yang terdekat, diikuti pula dengan penyampaian seruan yang beliau lakukan kepada seluruh kaumnya, kemudian kepada orang-orang Arab di sekelilingnya, terus kepada seluruh bangsa Arab dan umat manusia.
Beliau hidup sepuluh tahun lebih sesudah kenabiannya menyampaikan dakwah tanpa kekerasan dan peperangan, juga tanpa pungutan jizyah. Beliau telah disuruh berlembut serta tahan menderita. Sesudah itulah, beliau diizinkan berhijrah ke Madinah dan diperbolehkan berperang. Lalu beliau disuruh memerangi orang yang memeranginya dan jangan mengganggu orang yang tidak mengganggu dan tidak memusuhinya.
Sesudah itu, beliau diperintah memerangi orang musyrikin hingga agama itu menjadi kepunyaan Allah SWT.
Setelah keluarnya perintah jihad ini, orang kafir terbagi menjadi tiga golongan:
1. Golongan yang berdamai dan tidak memusuhi Islam.
2. Golongan yang memusuhi dan memerangi Islam.
3. Golongan dzimmi, yaitu golongan yang menyatakan kepatuhannya kepada negara Islam dan mendapat jaminan hidup aman di bawah pemerintahan Islam.
Terhadap golongan pertama, yaitu golongan yang berdamai tidak memusuhi Islam, beliau disuruh menunaikan hak mereka, dan diperintah supaya setia memegang janji dengan mereka, selama mereka tidak melanggar janji itu. Seandainya ada keraguan kalau mereka berlaku curang dan khianat, maka perjanjian itu bisa dihapus. Tapi, dicek dulu sikap mereka dan jangan memerangi mereka sehingga diberitahu bahwa mereka telah bersikap khianat dan melanggar janji, kemudian baru menyatakan perang kepada mereka.
Surah Baraah (dikenal juga dengan nama Surah Attaubah) merupakan panduan yang lengkap dalam hal perjanjian damai dan perang.
Beliau telah diperintah memerangi musuhnya dari golongan ahlil-kitab hingga mereka membayar jizyah atau mereka masuk Islam. Beliau disuruh juga memerangi orang kafir yang lain dari ahlil-kitab dan kaum munafiq dan bersikap keras terhadap mereka. Lalu beliau pun memerangi orang-orang kafir dengan menggunakan senjata dan menghadapi orang-orang munafiq dengan menggunakan hujjah dan alasan dalam perdebatan.
Beliau juga telah diperintah melepaskan diri dari ikatan janji setia terhadap orang-orang kafir dan menghapus segala perjanjian setia seperti itu.
Di samping itu pula, orang-orang kafir yang terikat dengan janji itu terbagi kepada tiga golongan:
1) Golongan yang diperintah supaya dimusuhi dan diperangi, yaitu golongan yang sengaja melanggar janji itu. Beliau pun terus memerangi mereka hingga beliau beroleh kemenangan.
2) Gologan orang kafir yang terikat janji dengan beliau untuk suatu waktu tertentu dan mereka tidak melanggar janji itu dalam waktu yang telah ditetapkan dan tidak menonjolkan sikap permusuhan terhadap beliau. Untuk golongan ini, beliau diperintahkan supaya memegang janji itu hingga habis waktunya.
3) Golongan yang tidak terikat segala janji dengan beliau dan tidak juga memusuhi beliau. Kepada golongan ini, beliau disuruh memberi waktu empat bulan. Bila selesai waktku empat bulan itu beliau pun memerangi golongan yang melanggar janjinya, dan memberi waktu kepada golongan yang tidak terikat dengan segala janji, atau pun terikat dengan suatu janji yang terbuka, untuk selama empat bulan.
Beliau juga diperintah menunaikan janji kepada golongan yang setia memegang janjinya sehingga selesai masa janji itu, lalu mereka semua pun menganut Islam. Setelah selesai waktu yang dijanjikan, beliau pun membuat ketetapan bahwa orang-orang yang tidak mau menganut Islam tapi menginginkan perlindungan (dzimmah) supaya membayar jizyah.
Dengan demikian, maka setelah turunnya Surah Baraah, orang kafir terbagi kepada tiga golongan dan kategori:
1) Golongan yang memusuhi beliau (Rasulullah SAW)
2) Golongan yang terikat dengan janji
3) Golongan yang memohon perlindungan (dzimmah)
Lalu sebagian besar golongan yang berdamai dan terikat dalam perjanjian dengan beliau dan golongan yang memohon perlindungan itu menganut agama Islam, hingga kemudiannya orang-orang kafir itu terbagi kepada dua golongan saja, yaitu golongan musuh dan golongan yang mohon perlindungan (dzimmi), sedangkan golongan yang bermusuhan dengannya senantiasa takut kepadanya.
Jadi, penduduk dunia di zaman beliau SAW ada tiga golongan saja, yaitu:
1) Golongan umat Islam yang percaya kepada ajaran-ajarannya.
2) Golongan kafir yang berdamai dengannya dan memohon perlindungannya.
3) Golongan kafir yang memusuhinya, tapi senantiasa takut dengan kekuatannya.
Adapun mengenai sikap dan tindakannya terhadap orang munafiq, maka beliau saw. telah diperintah menerima saja sikap lahir mereka dan menyerahkan hakikat rahasia hati mereka kepada Allah. Beliau juga diminta untuk menghadapi mereka dengan menggunakan hujjah dan alasan serta kebijaksanaan, seperti mana beliau telah diperintah supaya bersikap keras dan tegas terhadap mereka bilamana perlu.
Beliau juga telah diarahkan supaya menjawab dan menangkis kata-kata ejekan dan sindiran mereka dengan kata-kata yang setimpal. Malah Allah SWT pernah melarang beliau menshalati dan mendoakan jenazah mereka serta menziarahi kuburan mereka. Allah SWT memberitahu beliau bahwa seandainya beliau (Rasulullah SAW sendiri) yang memohon supaya Allah mengampunkan orang-orang munafiq itu, mereka tidak akan diampuni. Inilah sikapnya terhadap musuh-musuhnya dari kalangan orang kafir dan munafiq.
Dari keterangan ringkas yang sangat jelas dan tepat mengenai peringkatperingkat perjuangan (jihad) di dalam Islam, maka terang dan nyatalah sudah ciri-ciri asli dalam jalannya gerakan agama ini, yang perlu diperhatikan. Di samping itu kita juga dapat memberi penjelasan dan membuat uraian secara ringkas pula:
Ciri pertama: fakta-fakta yang benar-benar berlaku di dalam gerakan agama ini; gerakan menghadapi realitas hidup manusia, menghadapinya dengan cara yang sesuai dan selaras dengan wujudnya di dalam kenyataan. Ia hadapi jahiliyah dalam segi iktikad dan konsep, dan dengan demikian maka gerakan Islam itu menghadapi realitas dengan membawa perkara-perkara yang selaras dengan realitas itu sendiri.
Ia menghadapinya dengan dakwah dan seruan, dengan keterangan dan penjelasan untuk membetulkan iktikad dan kepercayaan, ia hadapi dengan kekuatan dan perjuangan untuk menghapus sistem dan kekuasaan yang sedang berkuasa dan merintangi jalannya, yang menghalanginya dari menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, yang menekan mereka dengan kekerasan dan paksaan serta penyesatan supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Tuhan mereka yang sebenar gerakan yang tidak cukup dengan keterangan dan penjelasan saja dalam menghadapi kekuasaan yang berbentuk materi, seperti juga ia tidak menggunakan kekerasan dan kekuasaan materi dalam menghadapi hati nurani umat manusia.
Ini semua adalah sama dalam jalan gerakan agama ini untuk mengajak manusia supaya tidak
mengabdikan diri kepada sesama manusia dan kembali mengabdikan diri kepada Allah saja sebagaimana keterangan yang akan disebutkan nanti.
Ciri yang kedua dari program agama ini ialah realitas dari sebuah organisasi, karena agama ini merupakan satu gerakan yang punya banyak tahap dan peringkat. Setiap tahap dan peringkat itu mempunyai jalan dan cara yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya yang sebenar, dan setiap peringkat itu pula berhubungan rapat dengan peringkat-peringkat berikutnya.
Agama ini tidak cukup menghadapi realitas itu dengan teori saja, seperti juga ia tidak menerima peringkat-peringkat realitas itu dengan cara beku dan kaku. Orang-orang yang membawa ayat-ayat Al-Quran sebagai dalil mengenai program agama ini dalam masalah jihad, tanpa memperhatikan ciri ini, dan tanpa memberikan perhatian berat kepadanya di dalam tahap-tahap dan peringkat yang dilalui oleh program itu, serta jalinan hubungan ayat-ayat Al-Quran itu dengan setiap tahap dan peringkat perjuangan orang-orang yang berbuat demikian adalah orang-orang yang mencampur aduk dan memalingkan hakikat agama ini ke arah jalan yang menyesatkan.
Mereka membawa ayat-ayat Al-Quran itu ke arah dasar dan kaedah yang bertentangan dengannya. Mereka beranggapan bahwa setiap patah ayat Al-Quran itu adalah merupakan nas terakhir dan malah merupakan kaedah asasi yang terakhir. Lalu mereka katakan - sedang mereka adalah orang-orang yang busuk jiwa dan fikiran di bawah tekanan dan pengaruh realitas, mereka adalah orang-orang yang lumpuh dan putus asa melihat kelemahan dan kerendahan hidup sebagian orang-orang Islam yang masih tinggal nama saja.
Mereka beranggapan bahwa Islam itu berjuang dan berjihad semata-mata hanya untuk mempertahankan diri saja! Mereka menyangka bahwa mereka berbuat bakti kepada agama ini dengan menariknya keluar dari program asalnya yaitu menghapuskan taghut dari bumi Allah ini dan menyuruh manusia mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Menyelamatkan umat manusia dari menyembah dan memuja sesama umat manusia kepada menyembah dan memuja Allah, bukan dengan cara memaksa mereka menganut agama ini; dengan cara memberi peluang kepada mereka mengkaji hakikat akidah agama ini, sesudah sistem politik jahiliyah yang sedang berkuasa itu dihancurkan, atau setelah sistem pemerintahan jahiliyah itu dikalahkan dan menyerah diri kepada akidah ini, dan memberikan kebebasan kepada seluruh umat manusia untuk menganut atau tidak menganut akidah ini berdasarkan kebebasan dan kemerdekaan yang sebenarnya.
Ciri yang ketiga ialah bahwa walaupun bentuk gerakan senantiasa berubah dan cara selalu bertukar ganti, tapi tidak boleh menyebabkan agama ini menyeleweng dari kaedah dan tujuan yang telah ditentukan.
Agama ini –sejak hari-hari pertamanya – baik ketika ia mengarahkan percakapannya kepada keluarga Nabi yang terdekat, atau kepada kaum Quraisy dan seluruh umat manusia di dunia ini, sesungguhnya ia memperkatakan tentang satu kaedah saja dan meminta mereka bertumpu kepada satu tujuan saja, yaitu memurni dan mengikhlaskan pengabdian mereka kepada Allah saja dan keluar sama sekali dari setiap bentuk pengabdian kepada sesama umat manusia.
Setelah itu, dia hendaklah terus bergerak dan bertindak melaksanakan planning yang telah ditetapkan, melalui tahap dan peringkat tertentu, dengan caranya sendiri, seperti telah kita uraikan di atas.
Ciri yang keempat ialah ketetapan syariat mengenai hubungan antara masyarakat Islam dengan masyarakat-masyarakat lain, mengikut cara dan dasar dari ringkasan yang telah kita petik dari buku ZAADUL MA'AD dan berjalannya ketetapan di atas landasan bahwa penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah itulah yang berbentuk universal yang seluruh umat manusia mesti berteduh di bawah lindungannya dan janganlah ada sedikit pun penghalang berupa sistem politik dan pemerintahan atau kekuatan materialis atau suasana yang menghalangi terlaksananya penyerahan diri kepada Allah. Hendaklah diberi kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk memilih sendiri, apakah dia mau atau tidak, tanpa sedikit pun halangan dan paksaan.
Seandainya ada pihak mana saja yang menghalangi dan memaksa, maka sudah menjadi kewajiban Islam untuk memeranginya hingga ia tewas atau menyerah diri.
Orang-orang yang rusak jiwa dan fikiran, yang menulis mengenai masalah JIHAD DALAM ISLAM dengan maksud mempertahankan Islam dari serangan orang; lantas mereka mencampur-adukkan program dan dasar agama Islam mengenai “tiada paksaan dalam beragama”, dengan dasarnya untuk menghancurkan kekuatan dan kekuasaan politik yang berbentuk materi yang bisa menghalangi umat manusia dari menganut Islam, kekuatan dan kekuasaan yang telah menjadi puncak umat manusia saling mengabdikan diri kepada sesama umat manusia dan menghalangi mereka dari mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Sedangkan keduanya (yaitu program Islam mengenai tiada paksaan dalam beragama dan programnya untuk menghapus segala kekuasaan yang menghalanginya) adalah merupakan masalah yang terpisah dan tidak bisa dicampur-aduk.
Oleh karena campur-aduk dan fikiran seperti itulah yang telah mereka coba untuk membatasi jihad Islam itu ke dalam lingkungan yang sangat sempit dengan diberi nama “Jihad yang berbentuk mempertahankan diri” sedangkan jihad dan perjuangan Islam itu adalah suatu masalah lain yang tiada sangkut pautnya dengan peperangan umat manusia zaman kini seperti yang dikenal sekarang.
Sudah sepatutnya diberikan perhatian tentang sebab musabab jihad Islam diikuti dari ciri perkataan “Islam” yang berarti “penyerahan diri” itu sendiri dan juga dari peranannya dalam dunia ini, dari tujuan dan matlamat tertingginya yang telah ditetapkan oleh Allah yang telah menyebutkan bahwa untuk mencapai matlamat itulah maka Rasulullah SAW telah diutus membawa pengajaran dan risalahnya dan dijadikan beliau sebagai penutup segala nabi.
Islam adalah merupakan suatu proklamasi umum untuk membebaskan “umat manusia” di “bumi” ini dari menjadi mangsa pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dari menjadi mangsa pengabdian kepada hawa nafsu serakahnya, hawa nafsu yang pada hakikatnya adalah sama-sama menjadi hamba Allah. Proklamasi itu berbentuk pengakuan ketuhanan Allah Yang Maha Esa.
Proklamasi ketuhanan Allah itu berarti suatu revolusi sepenuhnya terhadap kekuasaan sesama umat manusia dalam segenap bentuk dan rupa serta dalam apa pun bentuk pemerintahan umat manusia di atas muka bumi ini, di mana saja umat manusia itu menjalankan pemerintahan berpandu kepada undang-undang bikinan mereka sendiri; atau dengan perkataan lain: KETUHANAN manusia dalam apa pun bentuknya.
Pemerintahan yang menjadikan manusia-manusia sebagai sumber kekuasaan dan undang-undangnya dalam mana suatu golongan manusia dianggap sebagai pihak yang berkuasa dan menjadi TUHAN yang berhak menentukan nasib golongan yang lain.
Sesungguhnya, proklamasi itu berarti mengambil balik kekuasaan Allah yang telah dirampas dan direnggut itu untuk dikembalikan kepada Allah, juga berarti menghalau dan menghapuskan para perampok yang masih memperkosa kekuasaan Allah itu, yang memerintah umat manusia berdasarkan undang-undang yang mereka buat sendiri.
Mereka itu - dengan perbuatan seperti itu - telah meletakkan diri mereka sendiri setaraf dengan Allah dan rakyat yang mereka perintah pula adalah setaraf dengan hamba abdi. Proklamasi itu juga berarti menghancurkan pemerintahan manusia untuk digantikan oleh pemerintahan Allah di bumi-Nya, seperti yang digambarkan oleh Al-Quran:
“Dan Dialah [Allah] itu Tuhan yang berkuasa memerintah di langit dan berkuasa juga memerintah di bumi.” (Az Zukhruff: 84)
dan FirmanNya,
“Kekuasaan dan pemerintahan itu adalah kepunyaan Allah Dia [Allah] perintahkan kamu sekalian jangan mengabdikan diri kepada yang lain daripada-Nya [Allah]. Itulah agama yang lurus.” (Yusuf: 40)
dan firmanNya,
“Katakanlah [ajarkanlah] wahai Muhammad: wahai ahli kitab, marilah kita [pegang] satu saja [dasar] antara kami dan kamu: [Yaitu] dasar bahwa kita tidak [akan] menyembah [mengabdikan diri] kepada Tuhan yang lain daripada Allah, dan kita tidak akan sekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya [Allah] dan tidak pula setengah kita [orang awam atau rakyat jelata] menganggap setengah yang lain sebagai Tuhan, selain daripada Allah. Dan seandainya mereka [masih] berkeras juga, maka katakanlah kepada mereka: Persaksikanlah bahwa kami semuanya adalah orang Islam [yang menyerah diri sepenuhnya kepada Allah]. (Ali Imraan: 64)
Pemerintahan Allah di bumi-Nya ini tidak mungkin tegak terlaksana dengan cara pemerintahan itu dikendalikan oleh orang atau golongan tertentu, seperti para padri dan pendeta dan orang-orang yang menamakan dirinya tokoh-tokoh atau orang-orang agama, seperti yang telah berlaku dalam sistem pemerintahan gereja di Eropah zaman pertengahan; tidak pula dalam bentuk orang atau golongan tertentu berbicara sebagai wakil Tuhan, seperti yang berlaku di dalam sistem pemerintahan THEOCRACY atau “Kerajaan Suci”.
Bukan itu bentuknya. Melainkan, dengan melaksanakan syariat Ilahi dan semua urusan hidup dijalankan berpandu kepada ajaran Allah.
Menegakkan Kerajaan Allah di muka bumi ini, melaksanakan syariat dan undang-undang Allah, merebut kembali kekuasaan Allah dari tangan manusia durjana yang merampas hak-hak Allah, memansukhkan undang-undang bikinan manusia tidak akan berhasil hanya dengan berdakwah saja, bertabligh dengan berpidato saja. Orang-orang yang kecanduan mencengkram leher sesama manusia, kecanduan merampas kekuasaan Allah, tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka hanya dengan dakwah, tabligh dan penerangan saja. Sebab kalau dakwah tabligh dan penerangan saja sudah cukup, maka alangkah ringan dan mudahnya tugas itu dan alangkah mudahnya kerja para Rasul menegakkan agama Allah di muka bumi ini sejak zaman berzaman.
Proklamasi umum untuk membebaskan umat manusia daripada menjadi mangsa pengabdian oleh sesama manusia dan menegakkan kekuasaan Allah saja, bukanlah merupakan suatu proklamasi yang berpandukan teori falsafah yang negatif. Ia merupakan proklamasi yang berpijak di bumi nyata dan disertai dengan gerakan yang positif, disertai oleh pelaksanaan yang praktis dalam bentuk suatu sistem pemerintahan yang berpandukan syariat Allah, menghapuskan pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dan umat manusia mengabdikan diri dan bertuhan hanya kepada Allah saja tanpa sekutu bagi-Nya.
Dengan demikian maka hendaklah usaha berdakwah dan memberikan penerangan itu berjalan serentak, dan seimbang dengan gerakan melaksanakan tujuan proklamasi itu.
Oleh karena ia suatu proklamasi umum bagi kemerdekaan dan kebebasan seluruh UMAT MANUSIA di seluruh MUKA BUMI, kemerdekaan dan kebebasan dari segala kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah, maka agama Islam, di sepanjang zaman gerakannya, terpaksa berhadapan dengan beraneka ragam rintangan dan halangan, baik yang berbentuk akidah dan konsep hidup, maupun yang bercorak materi dan realitas, termasuk sistem politik, corak pemerintahan, sosial, ekonomi, pertentangan kelas dan berbagai bentuk ajaran thagut.
Kalaulah penerangan (dakwah) terpaksa menghadapi masalah iktikad dan konsep hidup, maka gerakan terpaksa pula menghadapi beraneka halangan berbentuk materi, bermula dari kekuasaan politik (status quo dan vested interest), yang menguasai bidang kepercayaan di samping melindungi faham perkauman, realitas hidup dan organisasi sosial dan ekonomi yang berliku-liku. Kedua-duanya (penerangan (dakwah) dan gerakan) terpaksa menghadapi realitas KEMANUSIAAN seluruhnya dengan cara yang sesuai dengan peranan dan keadaan masing-masing.
Kedua-duanya adalah syarat mutlak untuk memulakan gerakan membebaskan umat manusia di bumi ini, seluruh UMAT MANUSIA dan di seluruh MUKA BUMI. Syarat mutlak yang mesti dilaksanakan!
Sesungguhnya agama Islam bukanlah hanya sekadar suatu proklamasi kebebasan dan kemerdekaan manusia dan bumi Arab saja! Perutusan dan messagenya bukanlah khas untuk orang-orang Arab saja, sebab dasar dan tajuk percakapannya ialah “manusia” setiap jenis manusia dan lapangannya ialah “bumi”, setiap keping bumi, sebab Allah bukanlah Tuhan bagi orang-orang Arab saja dan bukan juga Tuhan untuk penganut-penganut Islam saja bahkan Dia adalah Tuhan SERU SEKALIAN ALAM dan agama itu adalah bertujuan mengembalikan “alam” ini seluruhnya ke pangkuan TUHAN-nya mencegah mereka dari menyembah dan mengabdikan diri (beribadat) terhadap yang lain daripada-Nya, sebab penghambaan yang paling besar, dalam pandangan Islam, ialah sifat patuh dan tunduk mahusia kepada undang-undang yang dibikin oleh manusia sendiri untuk diterima dan dipatuhi oleh sesama umat manusia inilah dia inti pengertian “ibadat”.
Yang mereka berikrar bahwa “ibadat” itu hanya untuk Allah saja, kepada Allah saja, di hadapan Allah saja, dan siapa saja yang melakukan ibadat, menumpukan pengabdian dan kepatuhan kepada yang lain dari Allah, maka berarti dia telah keluar dari agama Allah, walaupun dia mengaku, mendakwa dan menepuk dada bahwa dia adalah seorang muslim.
Rasulullah SAW telah membuat penegasan bahwa “kepatuhan” dalam peraturan hidup, undang-undang dan dasar pemerintahan itu adalah merupakan sejenis “ibadat” yang menyebabkan orang Kristian (Nasrani) dipandang sebagai orang musyrikin yang menentang dan mengingkari perintah Allah supaya “ibadat” itu ditumpukan kepada Allah saja.
Imam At-tirmidzi telah meriwayatkan, dengan sanadnya, mengenai cerita Adi bin Hatim r.a. bahwa setelah sampai kepadanya dakwah Rasulullah SAW, beliau tidak mau memeluk Islam dan terus melarikan diri ke Syam, karena beliau telah menganut agama Kristian sejak zaman jahiliyah. Seorang saudara perempuannya (barangkali kakaknya) dengan disertai oleh beberapa orang terkemuka kaumnya telah jatuh menjadi orang tawanan tentara Islam; tetapi Rasulullah merasa kasihan kepada saudara perempuannya itu lalu beliau membebaskannya.
Setelah dibebaskan, saudara perempuan Adi bin Hatim pulang menemui beliau (Adi) lalu diajaknya beliau menganut Islam dan datang mengadap Rasulullah SAW di Madinah. Kedatangan mereka berdua, kakak beradik, itu rupanya menjadi buah mulut penduduk Madinah, karena beliau (Adi) masuk menghadap Rasulullah dengan keadaan memakai sebatang salib (cross) perak di lehemya.
Kebetulan pada ketika itu, Rasulullah SAW sedang menyampaikan firman Allah yang bermaksud: Orang-orang Yahudi dan Kristen telah memandang padri-padri, rahib-rahib pendeta dan ketua agama mereka sebagai Tuhan selain dari Allah.
Mendengar bacaan ayat ini Adi pun langsung menjawab: “tidak, mereka itu (Yahudi dan Kristian) tidak menyembah dan melakukan ibadat terhadap para padri dan rahib itu”, lalu Rasulullah SAW pun menjawab dengan tegasnya: “bahkan! ketegasan ini sangat benar, karena pada padri dan rahib itu telah mengharamkan perkara-perkara yang dihalalkan oleh Allah, mereka menghalalkan perkara-perkara yang Allah haramkan, lalu mereka (orang-orang Yahudi dan Kristian itu) terima dan patuh saja menerima keputusan yang dibuat oleh para padri dan rahib itu. Itulah arti dan maksud ibadat mereka terhadap padri dan rahib itu.”
Tafsiran Rasulullah SAW atas firman Allah ini adalah merupakan nas dan sandaran hukum yang pemutus, Yang memberi kesimpulan bahwa sikap tunduk, patuh dan menerima saja dalam masalah perundangan dan pemerintahan adalah juga berarti pengabdian yang dapat menyebabkan individu dan golongan yang berkenaan itu keluar dari agama Islam dan juga bisa membawa arti bahwa sikap seperti itu adalah satu bentuk pendewaan dan pemujaan, malah mempertuhankan sesama manusia sendiri, yaitu suatu masalah yang hendak dikikis habis oleh Islam dan kehadiran Islam pun adalah bertujuan untuk memproklamasikan kebebasan MANUSIA di muka BUMI dari mengabdikan diri kepada yang lain daripada Allah.
Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain Allah.
Yaitu, yang memerintah mereka dengan memakai undang-undang dan syariat yang lain selain undang-undang dan syariat Allah, dan yang menutup umat manusia dari mendengar dakwah dan menganut akidah dengan aman dan bebas, tanpa dihalangi oleh kekuasaan apa pun.
Islam harus tegak dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan gerakan pembebasan itu berjalan lancar dan teratur, setelah hapus kekuasaan yang menghalanginya, apakah kekuasaan itu berbentuk kekuasaan politik atau disertai dengan dasar-dasar perkauman, pertentangan kelas atau lain-lain.
Islam sama sekali tidak memaksa umat manusia menganut akidah atau kepercayaannya, tapi perlu diingat bahwa Islam bukan hanya suatu akidah. Seperti telah kita utarakan sebelumnya, Islam juga suatu proklamasi umum bagi pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama umat manusia.
Islam juga mempunyai suatu tujuan pokok untuk menghapus dan mengikis sistem dan pemerintahan yang berdasarkan penindasan dan pengabdian oleh umat manusia atas sesama umat manusia. Setelah setiap individu diberi kebebasan yang sejati untuk memilih sendiri akidah dan pegangan hidup masing-masing, berdasarkan kehendak dan pilihan sendiri dalam keadaan kebebasan sepenuhnya, setelah tiada lagi tekanan politik dan ancaman pihak berkuasa ke mereka, setelah ruh dan jiwa mereka mendapat sinar penerangan yang secukupnya mengenai Islam dan lain-lain agama dan pegangan hidup.
Kebebasan itu tidak pula berarti bahwa mereka bebas untuk bertuhankan hawa nafsu dan mereka merelakan diri untuk mengabdikan diri kepada sesama umat manusia, atau untuk menjadikan sesama umat manusia sebagai Tuhan yang dipatuhi segala suruhan dan larangannya, atau juga untuk mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Allah saja.
Sesungguhnya sistem yang memerintah umat manusia di muka bumi ini hendaklah berdasarkan pengabdian diri umat manusia kepada Allah SWT. Yaitu dengan cara menerima undang-undang dan syariat Allah saja, di mana setiap individu mesti menerima arahan dan perintah Allah. Sesudah itu, bolehlah setiap individu menganut akidah apa pun yang mereka suka.
Dengan demikian, barulah agama itu menjadi kepunyaan Allah saja, sebab perkataan agama atau “addin” itu sendiri sebenarnya mengandung pengertian yang lebih luas daripada perkataan akidah. Addin ialah peraturan hidup dan undang-undang yang menguasai sendi-sendi kehidupan dan ia mesti berdasarkan akidah.
Di dalam Islam perkataan “addin” mencakup pengertian yang lebih luas daripada “akidah”. Dalam Islam, sebuah organisasi atau masyarakat bisa tunduk kepada program dan panduan umum Islam yang berasaskan pengabdian diri kepada Allah saja, walaupun ada unit-unit tertentu di dalam masyarakat itu yang tidak menganut akidah Islam.
Orang-orang yang mengerti akan tabiat agama ini (Islam) - mengikut cara yang telah diuraikan tadi - akan mengerti dan faham tentang betapa penting dan perlunya sebuah organisasi yang aktif dan dinamis yang dibawa oleh Islam dalam bentuk perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata di medan perang, di samping perjuangan di medan penerangan (dakwah).
Mereka juga tentu mengerti dan faham bahwa perjuangan Islam itu bukanlah suatu perjuangan untuk mempertahankan diri saja, menurut pengertian yang sempit, seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang frustasi berhadapan dengan tekanan yang kononnya realita, atau dengan serangan dan kecaman kaum orientalis yang bermaksud hendak menggambarkan bahwa gerakan jihad di dalam Islam semata-mata suatu gerakan mempertahankan diri saja.
Seandainya gerakan jihad Islam itu terpaksa dinamakan sebagai “gerakan mempertahankan diri” maka kita perlu mengubah pengertian perkataan “bertahan” atau “pertahanan”. Kita mesti menganggapnya sebagai “pertahanan terhadap manusia” itu terdiri dari segala sebab yang menghalangi kebebasannya, baik yang berbentuk konsep atau cara berfikir, atau yang berbentuk susunan ekonomi atau pertentangan kelas yang telah kokoh. Islam datang dan terus wujud dalam beraneka bentuknya di zaman jahiliyah modern ini.
Dengan meluaskan pengertian kata “pertahanan”, kita bisa memahami hakikat gerakan Islam di BUMI ini dengan cara berjihad dan kita bisa mengerti hakikat Islam itu sendiri sebagai suatu proklamasi umum yang terbuka ke arah pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama manusia dan dari mempertuhankan sesama umat manusia kepada pengakuan ketuhanan serta kekuasaan Allah untuk seluruh alam ini, menghancurkan kekuasaan hawa nafsu manusia di muka bumi ini.
Adapun usaha untuk menyempitkan pengertian jihad Islam dan menyebutnya sebagai gerakan “bertahan” mengikuti pengertian zaman modern ini, juga usaha untuk mencari alasan untuk memperkecil peristiwa-peristiwa jihad di dalam Islam. Bahwa, jihad semata-mata untuk menentang ancaman kekuatan luar terhadap negeri Islam, yang oleh sebagian orang dipandang bahwa negeri Islam ialah Semenanjung Arab saja, maka usaha itu adalah merupakan suatu usaha yang.berawal dari kurang pengertian mengenai tabiat agama ini dan tabiat peranannya dalam seluruh masalah di muka bumi ini, seperti juga usaha itu menekan sikap menyerah berhadapan dengan realita zaman modern dan kecaman pada orientalis terhadap pengertian jihad Islam.
Cobalah anda lihat dan fikir, seandainya Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. merasa bahwa Semenanjung Arab itu selamat dari ancaman permusuhan dari kerajaan Romawi dan Parsi, adakah mereka berdiam diri saja tanpa menjalankan gerakan meluaskan pengaruh agama ini ke seluruh pelosok dunia?
Lihatlah lagi bagaimana mereka telah menyebarkan agama ini, sedangkan halangan dan rintangan begitu hebat menghalangi mereka, baik yang berbentuk sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi, dengan dilindungi dan dikawal oleh negara-negara raksasa.
Adalah suatu kebodohan bahwa dakwah yang memproklamirkan kebebasan manusia untuk semua manusia di muka “bumi” dan negeri di dunia ini, kemudian hanya berdiri tegak menghadapi rintangan dan halangan dengan hanya bersenjatakan lidah dan pena saja!
Sesungguhnya dakwah ini berjuang melalui penerangan secara lisan dan pena saja ketika ia bebas berbicara dan berdialog dengan setiap orang dalam suasana penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa dihalangi oleh apa pun. Ketika itulah baru dianggap berlakunya perintah dan dasar “tiada paksaan dalam beragama ( لااكراه في الدبن ). Tapi, bila ada halangan, maka hendaklah terlebih dahulu halangan itu dihapuskan dengan kekerasan dan paksaan, supaya dakwah bisa mengetuk pintu hati dan fikiran umat manusia dengan bebas, tanpa gangguan.
Jihad adalah syarat utama bagi perjalanan dakwah ini, karena tujuannya memproklamirkan kebebasan umum umat manusia hingga ia mampu menghadapi realita dari segenap segi. Ia tidak cukup dengan hanya memberi penerangan dan penjelasan seputar filsafat saja, sementara tanahair Islam, atau mengikuti istilah Islam yang sebenarnya “Negara Islam” (Darul-Islam) itu terancam oleh kekuatan negara asing.
Ketika Islam mencari perdamaian, maka yang dicarinya bukan sejenis perdamaian yang rendah mutu dan nilainya, yaitu semata-mata hendak mengamankan secuil tanah, yang didiami oleh kaum muslimin. Yang dikehendaki Islam ialah perdamaian yang menjamin bahwa kepatuhan umat manusia itu tertumpu sepenuhnya kepada Allah saja, dengan pengertian bahwa ketundukan dan kepatuhan umat manusia itu tertumpu dan tertumpah kepada Allah saja, baik soal ibadat maupun urusan hidup di dunia, tidak boleh sedikit pun tersisa pengabdian oleh manusia terhadap sesama manusia.
Penentuan sukses atau gagalnya jihad Islam itu tidak boleh dilihat dari putaran pertama, putaran pertengahan atau putaran akhir dari sesuatu perjuangan. Melainkan, dilihat dari sejauh mana dampak jihad terhadap kedudukan orang-orang kafir di dalam sesuatu negara; apakah dapat dijadikan seperti kedudukan mereka sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ibnul-Qayyim di dalam kitabnya Zaadul-Maad dengan arti bahwa akhimya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu golongan orang Islam, golongan dzimmi dan golongan harbi yang senantiasa bimbang dan takut kepada orang Islam dan pemerintah Islam. Itulah indakator jika Jihad Islam berjalan di atas landasan yang sebenarnya. Tapi sekiranya kedudukan orang-orang kafir terus menerus dengan kufurnya, tanpa keraguan apa pun; maka nyatalah jihad Islam itu gagal.
Inilah dia sikap penuh nalar dari agama ini. Bukan seperti yang difahamkan oleh orang yang keliru dan frustasi dalam menghadapi realita zaman sekarang dan dalam menghadapi para orientalis yang penuh kelicikan itu.
Sesungguhnya Allah SWT telah menghindarkan orang-orang Mekah dan di zaman permulaan hijrah ke Madinah dari kewajiban berjihad. Umat Islam diperintah supaya “genggam tangan kamu dan dirikanlah sembahyang”". Setelah itu baru mereka diizinkan berperang, dengan perintah wahyu:
“Diizinkan kepada orang-orang Islam yang dimusuhi itu untuk berperang karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk menolong dan memberi kemenangan kepada mereka. [Yaitu] orang-orang yang telah diusir keluar dari negeri dan kampung halaman mereka dengan cara yang tidak benar, melainkan [semata-mata] disebabkan mereka berkata [menegaskan pendirian mereka “Allah Tuhan Kami”. Dan kalaulah bukan karena Allah membuat perimbangan di antara manusia niscaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan gereja, tempat-tempat sembahyang [Yahudi] dan juga masjid-masjid tempat nama Allah disebut orang di dalamnya; dan Allah pasti akan menolong siapa saja [individu dan umat] yang menolong menegakkan agamanya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuat [Berkuasa] dan Maha Mulia, yaitu orang-orang [individu dan umat Islam] yang bila Kami beri keteguhan kepada mereka [beri kekuasaan dan kedudukan yang baik] niscaya mereka menegakkan sembahyang dan membayar zakat, juga mereka memerintah dengan maaruf [dengan berpandu kepada ajaran Allah] dan mereka mencegah kemungkaran [sesuatu yang berlawan dengan perintah Allah] dan kepunyaan Allah jualah kesudahan segala masalah.” (Al-Haj: 39-41)
Kemudian mereka diperintah memerangi orang-orang dan atau golongan yang memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang memerangi orang atau golongan yang tidak memerangi mereka.
Firman Allah: “Dan hendaklah kamu sekalian berperang di jalan Allah [melawan] golongan dan orang yang memerangi kamu.” (Al-Baqarah: 19)
Kemudian baru mereka diperintah memerangi seluruh orang musyrik, melalui Firman:
“Maka hendaklah kamu sekalian memerangi kaum musyrikin seluruhnya seperti mereka memerangi kamu seluruhnya.” (At-taubah: 36)
Mereka juga telah diberi peringatan:
“Hendaklah kamu sekalian memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya telah haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu dari golongan ahli kitab [Yahudi dan Kristen], sehingga mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendah diri.” (At-Taubah: 29)
Jadi, berperang itu menurut pendapat Imam Ibnul-Qayyim pada awalnya dilarang, kemudian dibenarkan, kemudian disuruh lakukan terhadap individu dan golongan yang memulai peperangan itu, kemudian diperintah supaya perang itu dilakukan ke atas seluruh orang musyrikin.
Ketegasan nas-nas Al-Quran yang diturunkan mengenai masalah jihad dan perjuangan, dan ketegasan hadis Nabi yang penuh berisi rangsangan untuk berperang dan juga ketegasan peristiwa-peristiwa dan bukti sejarah dari kejadian dan keadaan di zaman kebangkitan Islam dahulu sesungguhnya nas dan bukti yang begitu terang dan nyata itu mestinya menyekat otak dan fikiran kita dari menerima penafsiran ala orang yang frustasi dalam menghadapi tekanan realita zaman kini dan juga dalam menghadapi kecaman para orientalis mengenai pengertian jihad di dalam Islam.
Siapakah gerangan di kalangan orang yang mengenal Allah dan RasulNya dan mendengar perintah-Nya mengenai hal ini, dan orang yang mengikuti jejak perjuangan Islam di dalam masalah jihad di dalam Islam yang sampai hati menganggap bahwa perintah jihad di dalam Islam merupakan perkara sampingan saja, yang hanya berlaku dalam suasana tertentu saja untuk sekadar menjaga keselamatan negeri saja?
Sesungguhnya Allah SWT telah menerangkan kepada orang-orang beriman melalui ayat yang sudah jelas untuk memberi lampu hijau bagi melakukan perang, bahwa perkara yang selalu berlaku di dalam hidup di dunia ini ialah bahwa Allah senantiasa menjaga perimbangan antara sesama golongan umat manusia itu sendiri supaya terhindarlah kerusakan di bumi ini (Al-Haj: 39-40) yang telah dihuraikan tadi.
Sebenarnya larangan berperang di zaman Mekah itu tidak lain dari suatu tahapan zaman dalam perjuangan yang panjang. Demikian juga dengan larangan berperang di zaman permulaan hijrah. Motif yang mendorong masyarakat Islam di Madinah selepas itu untuk bertindak dengan tujuan untuk mengamankan Madinah saja.
Memanglah itu menjadi tujuan utama yang tak dapat dihindarkan lagi; tetapi tindakan itu mempunyai tujuan dasar bagi menjamin lancarnya tindakan itu yang akan mengamankan markas pergerakan; pergerakan untuk pembebasan umat manusia dan menghapuskan “halangan” yang menyekat manusia dari bergerak bebas dan bertindak mengikuti panduan yang telah digariskan oleh Islam. Larangan berperang yang dikenakan ke atas orang-orang Islam di zaman Mekah adalah merupakan suatu perkara yang mudah difahami.
Di Mekah terdapat kebebasan berdakwah. Ditambah pula oleh fakta bahwa sebagai pemimpin
perjuangan ini Rasulullah SAW telah mendapat perlindungan di bawah kawalan senjata Bani Hasyim. Beliau mendapat perlindungan untuk berdakwah dan mengetuk pintu hati dan fikiran setiap orang, juga untuk menghadapi ancaman orang-orang tertentu; juga karena di Mekah tiada sebarang kuasa politik yang teratur untuk menyekat beliau dari menjalankan kegiatan dakwah dan menyekat orang dari menutup telinga dan fikiran ke arah dakwah beliau. Dengan demikian tidak ada sebab, pada tahapan ini, untuk menggunakan kekuatan, di samping terdapat juga beberapa faktor lain di peringkat ini.
Boleh jadi tahapan periode Mekah waktu itu merupakan tahapan periode pendidikan dan membuat persediaan atau persiapan, di dalam keadaan masyarakat tertentu, untuk golongan kaum tertentu dan di tengah lingkungan keadaan yang tertentu pula.
Di antara tujuan utama pendidikan dan persiapan dalam suasana yang seperti itu ialah mendidik dan melatih jiwa dan semangat orang Arab supaya tabah dan sabar menanggung kesusahan serta tahan menderita, supaya setiap orang terlepas dari kungkungan rasa cinta diri, supaya
hati mereka tidak lagi terikat dengan kebiasaan mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja.
Untuk mendidik mereka, diawali dari mengontrol saraf dan perasaan dari terus melakukan tindakan balas dendam, supaya tingkah laku dan tindak tanduknya dibuat dengan penuh teliti dan matang. Juga untuk mendidiknya hidup dalam masyarakat yang teratur yang tidak akan bertindak kecuali mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya, walaupun garis itu bertentangan dengan kepentingan dirinya, dan kebiasaan dan adat hidupnya. Ini merupakan dasar dalam menyediakan kepribadian masyarakat Islam yang tunduk di bawah satu pimpinan yang beradab.
Boleh jadi juga karena dakwah secara aman damai itu lebih berkesan seperti di dalam masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai sebuah masyarakat yang punya kebanggaan sendiri. Dalam tahapan ini, peperangan akan menyebabkan timbulnya kekerasan dan kekacauan seperti yang telah mencetuskan perang DAHIS dan AL GHABRA', pertempuran AL SABUS, bertahun-tahun lamanya, di mana beberapa suku dan qabilah menjadi musnah hancur. Kekacauan tersebut masih hangat dan kuat pengaruhnya di dalam ingatan mereka di zaman permulaan Islam.
Peperangan di awal dakwah pun akan menjadikan Islam terselewengkan dari suatu bentuk dakwah dan sebuah agama menjadi suatu pangkal permusuhan dan perpecahan; sedangkan ia (Islam) itu masih merupakan suatu hal baru.
Boleh jadi juga yang demikian karena hendak mengelakkan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, karena masih belum tampak suatu kekuasaan yang teratur dan dipatuhi orang, kekuasaan yang benar-benar berkerja menyiksa dan menganiaya serta menabur fitnah kepada orang-orang Islam. Kalau pun ada, pelakunya sebenarnya adalah perseorangan saja, pekerjaan individu yang punya banyak budak dan pengikut.
Dalam masyarakat seperti ini, peperangan berarti mencetuskan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, yang menyebabkan orang bisa salah sangka dan salah tanggap terhadap Islam, lalu mereka katakan: itulah dia Islam! Memang tuduhan seperti itu telah dinyatakan orang walaupun sebenarnya Islam telah mencegah dan melarang perang dalam suasana seperti itu. Tuduhan seperti itulah yang menjadi modal utama kaum Quraisy dalam gerakan propaganda mereka menentang Islam di setiap musim haji. Mereka katakan Muhammad telah memecah belah kaumnya sendiri.
Bayangkan apa yang terjadi seandainya beliau sendiri pula yang menganjurkan peperangan total di kalangan masyarakat kecil seperti itu!
Boleh jadi juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak orang yang jahat, keras hati dan suka mengganggu orang Islam di generasi pertama, yaitu orang yang mula-mula menganut agama Islam di hari-hari pertama pelantikan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan tujuan memaksa mereka keluar murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama syirik.
Gangguan ini dilakukan dengan bermacam cara, dengan teror dan siksaan, tapi ternyata kemudiannya, orang-orang itu sendiri pula menjadi tokoh penting dalam perjuangan agama Islam, malah ada pula yang menjadi pemimpin agung agama Islam. Bukankah Sayidina Umar bin AI Khattab salah seorang dari golongan ini?
Mungkin juga hal ini disebabkan oleh pengaruh sentimen kesukuan Arab dalam sebuah masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat bersuku dan berkabilah. Dalam masyarakat seperti ini perbuatan menolong dan membantu orang teraniaya dan dalam kesusahan, adalah suatu perbuatan yang lumrah; apalagi kalau penganiayaan itu terjadi pada orang yang dihormati dan disegani.
Banyak peristiwa yang membuktikan kebenaran pandangan ini. Sebagai contoh: Ibnu
Daghnah tidak rela membiarkan Sayidina Abu Bakar, seorang hartawan yang disegani, keluar berhijrah ke Madinah dan meninggalkan kota Mekah. Dalam anggapan beliau, berhijrahnya orang seperti Sayidina Abu Bakar adalah berarti aib besar bagi orang Arab seluruhnya. Oleh karena itulah beliau telah datang meminta kesudian Sayidina Abu Bakar menjadi tetangganya, dengan janji bahwa beliau akan memberikan perlindungan kepadanya.
Di antara peristiwa terakhir yang membenarkan pendapat ini ialah usaha memecahkan kepungan (blokade) terhadap Bani Hasyim dan dikoyaknya surat pernyataan boikot ke Bani Hasyim
dari golongan Abu Talib setelah sekian lama mereka menderita lapar dan susah; sedangkan di dalam sebagian masyarakat “beradab” zaman dahulu yang biasa menentang penindasan, selalu saja bersikap masa bodoh terhadap kesusahan seperti itu. Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai suatu sikap yang tercela dan berarti menghormati orang-orang zalim.
Boleh jadi juga karena sangat kecilnya jumlah orang-orang Islam ketika itu, sebab mereka hidup terkepung dalam kawasan di sekitar Mekah saja, karena dakwah Islamiyah belum sampai ke pelosok lain dan masih belum begitu didengar orang. Suku-suku lain tidak mau campur tangan di dalam urusan yang mereka pandang sebagai pertikaian dalam kalangan internal keluarga suku Quraisy, sehingga pertikaian itu selesai.
Seandainya peperangan diizinkan dalam suasana seperti ini, maka ia akan berkesudahan dengan tragedi penyembelihan massal terhadap orang-orang Islam yang terlalu kecil bilangannya itu; walaupun mereka akan melawan serangan itu. Ini akan mengakibatkan musnahnya umat Islam dan menyebabkan ia sukar untuk berkembang, sedangkan Islam itu sendiri adalah suatu panduan hidup untuk seluruh umat manusia.
Demikianlah seterusnya .....
Adapun di Madinah - zaman permulaan hijrah - maka sesungguhnya perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan orang Yahudi dan kaum musyrik Madinah dan kawasan-kawasan sekitarnya (terkenal dalam sejarah Islam sebagai PIAGAM MADINAH, sebagai tanda terbentangnya sebuah negara modern di Madinah, (negara yang memenuhi syarat-syarat bernegara mengikut istilah ilmu kenegaraan di zaman modern ini), adalah merupakan suatu hal yang sangat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pertama: Karena perjanjian itu menjamin kebebasan berdakwah, tidak dihalangi oleh kekuatan politik apa pun, sebab menurut perjanjian itu, semua orang menghormati pemerintahan Islam yang baru muncul di bawah pimpinan Rasulullah SAW.
Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa setiap orang dan setiap golongan tidak boleh membuat sebarang perjanjian damai dan tidak boleh pula mengobarkan perang, juga tidak boleh melakukan hubungan luar, melainkan terlebih dahulu mesti mendapat persetujuan Rasulullah SAW.
Ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan dan kekuasaan di Madinah sebenarnya terletak di tangan orang Islam dan kesempatan berdakwah adalah terbuka lebar, juga kebebasan asasi umat manusia mengenai masalah ini (akidah), terjamin sepenuhnya.
Kedua: Di peringkat ini Rasulullah SAW bermaksud mencari penyelesaian dengan kaum Quraisy yang terus menerus menentangnya, dan juga merupakan penghalang utama bagi kaum lain masuk Islam. Rasulullah SAW juga ingin melihat penyelesaian antara golongan Quraisy yang kontra dengan golongan yang pro Islam. Untuk itu, beliau telah mengambil tindakan segera mengirim pasukan patroli (saroya jama' sariyyah), membawa panji-panji Islam.
Patroli pertama yang dikirimnya ialah yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Rasulullah sendiri) di bulan puasa menjelang bulan ketujuh hijrah.
Pengiriman patroli atau saroyah itu dilakukan pula menjelang bulan kesembilan hijriah, di bulan ketiga belas dan keenam belas hijriah. Kemudian dikirim pula patroli di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy di awal Rajab bulan ketujuh belas hijriah. Ini saroyah pertama yang mengalami pertempuran sengit.
Pertempuran ini terjadi di bulan haram (bulan suci yang dilarang berperang). Pertempuran inilah menjadi sebab turunnya Firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu [wahai Muhammad] tentang hukum berperang di bulan yang dihormati. Katakanlah: Berperang di bulan itu adalah dosa besar; tetapi perbuatan menghalangi [orang Islam dari jalan Allah, kafir kepada Allah menghalangi orang Islam masuk] Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarya; lebih besar [dosanya] di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar [dosanya] daripada berbunuhan [semasa perang dalam bulan haram]. Mereka tidak berhenti-hentinya memerangi kamu sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu dari agama kamu [kepada kekafiran] seandainya mereka sanggup [berbuat demikian].” (Al-Baqarah: 217)
Kemudian peperangan Besar Badar (Badrul-Kubra) terjadi pada bulan Ramadan tahun itu juga dan peperangan itulah yang menjadi sebab turunnya Surah Al-Anfaal.
Kalau hal itu dijadikan dasar dari latar belakang kejadian peperangan ini, maka sama sekali tidak langsung berhubungan dengan alasan “mempertahankan diri” menurut definisinya yang sangat sempit itu, untuk dijadikan dasar bagi gerakan jihad Islam; seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang yang dangkal pikirannya menghadapi realita yang berlaku dan menghadapi putar belit kaum orientalis.
Orang-orang yang sengaja mencari-cari alasan menjalankan gerakan Islam dalam bentuk “mempertahankan diri” saja sebenarnya telah beroleh ilham dan inspirasi dari serangan kaum orientalis. Ketika umat Islam sedang kehilangan kekuasaan seperti sekarang ini, dan bahkan ketika orang-orang Islam sedang kehilangan “Islam” itu sendiri, kecuali orang-orang yang masih dipelihara Allah iman dan semangatnya, yang masih terus melaksanakan proklamasi umum Islam mengenai kebebasan umat MANUSIA di atas BUMI ini dari sebarang kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah SWT, supaya kekuasaan itu menjadi kepunyaan Allah SWT seluruhnya, lalu mereka berusaha dan berjuang terus meniupkan semangat jihad dengan menonjolkan nama dan lambang Islam dengan tujuan untuk memenangkan Islam saja.
Gerakan dakwah Islam tidak memerlukan sebarang pedoman dan fakta sandaran yang lebih tepat daripada panduan wahyu Ilahi ini:
“Oleh kerana itu, maka hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat [yaitu orang mukmin yang mengutamakan kebahagiaan hidup akhirat atas hidup dunia ini] berperang di jalan Allah. [karena] Barangsiapa yang berperang di jalan Allah lalu terbunuh [syahid] atau beroleh kemenangan, maka kelak Kami akan berikan kepadanya pahala yang besar. Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang selalu berdoa dengan berkata “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini [Mekah] yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau”. Orang-orang yang beriman itu berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir pula berperang di jalan taghut [setan] sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (An - Nisaa': 74-76)
“Katakanlah [wahai Muhammad] kepada orang-orang kafir itu: Jika mereka berhenti [dari kekafirannya] Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu. Dan jika mereka kembali lagi [kembali menjadi kafir semula dan memerangi Nabi] maka sesungguhnya akan berlaku [kepada mereka] sunnah [Allah terhadap] orang-orang dahulu”. Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah [gangguan terhadap agama Islam] dan supaya agama itu bagi Allah semata-mata [supaya orang Islam bebas melaksanakan ajaran agamanya].
”Jika mereka berhenti [dari kekafiran dan gangguan] maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling [enggan beriman dan tidak berhenti menceroboh] ketahuilah bahawasanya Allah Pelindungmu dan sebaik-baik penolong.” (Al Anfaal: 38-40)
Dan firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari akhirat dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], yaitu orang-orang [Yahudi dan Kristen] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendahkan diri. Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknat Allahlah mereka. Bagaimana mereka dapat berpaling [dari kebenaran]? Mereka jadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan] Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Suci dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 29-31)
Inilah fakta-fakta sandaran yang mengesakan ketuhanan Allah di “bumi” ini, dan melaksanakan panduan-Nya di dunia ini, serta menghalau setan dan kelompoknya, juga menghancurkan kekuasaan manusia yang menindas dan menekan sesama umat manusia sedangkan semua manusia adalah hamba Allah Yang Maha Berkuasa. Manusia tidak boleh saling menguasai dan saling mengabdi oleh dan kepada sesiapa pun dari kalangan sesama hamba Allah dengan mengatasnamakan diri mereka sendiri atau dengan undang-undang yang bersumber dari hawa nafsu dan pendapat mereka sendiri.
Pada fase ini, mulailah berlaku kalimat “tiada paksaan dalam beragama”, iaitu tiada paksaan untuk menganut agama Islam dan akidah apa pun, setelah seluruh umat manusia terbebas dari pengabdian oleh sesama manusia dan setelah diakui tegaknya suatu dasar bahwa kekuasaan seluruhnya adalah kepunyaan Allah.
Bila mereka ditanya mengenai motif yang mendorong mereka berjuang, mereka tidak akan pernah menjawab, “Kami berjuang untuk mempertahankan negeri kami yang sedang terancam.” Atau, “kami berperang untuk meredam kemaraan musuh dari Parsi dan Romawi yang merongrong kedaulatan negara kami.” Atau, “kami berjuang untuk memperluas kawasan negara kami dan mengumpul harta rampasan.”
Tidak karena semua itu. Namun, mereka akan menjawab seperti jawaban Sayidina Rab'a bin 'Amir, Huzaifah bin Muhsan dan Al-Mughirah bin Syu'bah, kepada Rustam Panglima Angkatan Perang Parsi di Medan Perang Qadisiah yang telah bertanya kepada mereka seorang demi seorang dalam tempo tiga hari berturut-turut sebelum terjadinya pertempuran hebat antara tentara Parsi yang cukup lengkap dengan persenjataan tentara Islam yang kecil jumlah dan sedikit sekali persenjataannya.
Rustam bertanya kepada mereka, “Apakah yang mendorong kamu ke mari untuk berperang dengan kami?”
Jawaban mereka adalah bersamaan antara satu dengan yang lain, tidak berubah dan tidak berbeda. Jawaban mereka berbunyi, “Bahwa Allah telah mengutus kami untuk mengajak dan menyeru tuan-tuan dan semua orang yang memperlihatkan taat setianya kepada sesama manusia untuk bersama-sama dengan kami menyembah dan menuju pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa.
Mereka juga mengajak Romawi dan Parsi untuk keluar dari kesempitan hidup dunia kepada ruang hidup yang lebih luas, di dunia dan akhirat, dari keganasan dan kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam lalu diutus-Nya utusan-Nya kepada seluruh umat manusia. Siapa saja menerima Islam, maka kami sambut mereka dan kami akan meninggalkan negeri mereka. Kami persilakan mereka terus berkuasa di negeri mereka sendiri.
Sebaliknya, siapa saja yang angkuh dan enggan menerima Islam maka kami akan memerangi mereka sehingga kami mendapat kurnia surga Allah atau kami beroleh kemenangan.”
Sebenarnya ada tenaga pendorong di dalam tabiat agama ini dalam proklamasi umum dan juga dalam programnya yang berpijak dalam realita untuk umat manusia, yang sesuai dengan bentuk hidup umat manusia yang beragam. Tenaga pendorong utama itu senantiasa hidup tegak, walaupun tiada sebarang bentuk permusuhan atas negeri Islam dan juga terhadap kedaulatan orang-orang Islam di dalam negeri itu, krena ia adalah tenaga pendorong yang sejati dan asli di dalam program dan realitanya, bukan sekadar bertumpu pada mempertahankan diri saja, yang sangat sementara bentuknya.
Seorang muslim itu cukup mampu untuk keluar berjuang mempertaruhkan jiwa raga dan harta bendanya di “jalan Allah” saja, di jalan dasar dan nilai Allah saja, tiada sebarang keuntungan materi untuk diri dan golongannya, tiada pula sebarang impian kebendaan yang mendorongnya.
Sebelum setiap orang muslim keluar berjuang dan berperang di medan jihad, pada hakikatnya dia telah berhasil mengarungi medan jihad yang amat besar di dalam dirinya sendiri, melawan godaan setan dalam hatinya, menentang nafsu dan syahwat keinginan yang beraneka bentuk, menentang rasa tamak, menentang rasa cinta diri, cinta kaum kerabat dan anak bangsa sendiri, dan bahkan menentang sebarang simbol yang bukan simbol Islam, menentang sebarang dorongan untuk menyembah dan mematuhi sebarang kekuasaan selain Allah dan sebarang halangan dari terlaksananya kekuasaan dan pemerintah Allah di muka bumi ini serta menghancurkan kekuasaan “TAGHUT” dan setan-setan kekuasaan yang merampas kekuasaan Allah.
Orang-orang yang sengaja mencari-cari jalan untuk mendapatkan sebarang fakta sandaran ke arah perjuangan dan jihad Islam dengan tujuan mempertahankan “Negara Islam” saja, orang yang seperti itu adalah orang yang suka merendahkan dasar dan program agama dan memandangnya lebih murah nilainya daripada “negeri”.
Ini bukan konsep Islam yang benar, bahkan ia merupakan suatu teori dan pendapat yang sumbang dan usang sama sekali dari selera Islam; sebab akidah dan program yang mengatur perjalanannya dan masyarakat yang hendak dikuasai oleh akidah dan program itu adalah suatu simpulan kata yang sama dan satu dalam selera Islam.
Adapun “tanah” dan “bumi” saja maka tiada apa nilai dan harga pun, kerana setiap nilai dan harga bagi “tanah” dan “bumi” dalam pandangan Islam adalah berujung pada berkuasanya program dan ajaran Allah di atas “tanah” dan “bumi” itu. Karena itulah maka “bumi” itu menjadi tapak semaian akidah dan juga program itu di dalam bentuk “Negeri Islam”, dan juga merupakan titik permulaan bagi perjalanan ke arah kebebasan umat manusia.
Memang benar bahwa menjaga “Negeri Islam” itu berarti menjaga akidah, program dan masyarakat yang di dalamnya akidah dan program itu berkuasa dan berdaulat. Tapi mesti diingat, ini bukan tujuan terakhir. Bukan tugas menjaga keselamatan menjadi tujuan terakhir bagi gerakan jihad Islam. Kerena mengawal keselamatannya adalah merupakan satu jalan saja bagi tegak dan terlaksananya perintah Allah di dalamnya, juga dijadikan garis permulaan bertolak, sebab umat manusia adalah merupakan alat dan bahan bagi gerakan agama ini manakala bumi dan tanah pula merupakan tempat ia berpijak dan tumbuh mekar.
Kita telah mengatakan bahwa perjalanan membawa dan memikul ajaran agama ini akan dihadang oleh berbagai bentuk halangan, baik yang berbentuk kekuasaan negara, sistem sosial dan politik dan juga berbentuk realita yang menguasai keadaan, sedangkan semuanya adalah hal-hal yang hendak dihancurkan oleh Islam dengan menggunakan kekuatan, supaya seluruh umat manusia dapat hidup bebas berhadapan dengannya, bebas berbicara dan mengetuk pintu hati dan fikirannya, setelah seluruh umat manusia itu dibebaskan dari belenggu, dan setelah mereka beroleh kebebasan penuh.
Kita mestinya tidak mudah terpedaya dengan tipu muslihat kaum orientalis terhadap dasar “jihad” dan kita sekali-kali jangan rela menanggung beban yang ditimbulkan oleh realita dalam kekalutan dunia zaman sekarang, lalu kita mencari-cari motif lain untuk jihad Islam di luar tabiat asal agama ini sendiri, supaya dapat bertahan untuk sementara. Jihad akan terus berjalan, dengan disertai atau tanpa motif itu.
Di samping itu kita membongkar realiti sejarah, kita tidak boleh lupa pokok dan inti tabiat agama ini, dan jangan sekali-kali kita cuba mencampur-adukkan inti itu dengan realiti yang berbentuk pertahanan yang bersifat sementara itu.
Selengkapnya
Jumat, 25/02/2011 15:27 WIB
Rombongan logistik NATO luluh lantak diserang sekelompok orang bersenjata di Peshawar, Pakistan. Serangan itu menyebabkan sembilan orang tewas dan 16 dari 40 kendaraan pengangkut bahan bakar milik NATO hancur total.
Aparat berwenang mengatakan, sekelompok militan yang tidak diketahui dari kelompok mana, menyerang dua terminal yang menjadi persinggahan rombongan logistik NATO di kawasan Ring Road di sebelah barat laut Peshawar, pada Kamis (24/2) malam. Selain sembilan orang yang tewas, dua orang lainnya dilaporkan luka-luka.
Para pelaku serangan melarikan diri begitu aparat kepolisian dan tim penyelamat datang ke lokasi kejadian, untuk memadamkan kebakaran yang timbul akibat serangan tersebut.
Di tempat terpisah, kelompok militan juga membakar dua truk tangki bahan bakar milik NATO. Tidak ada korban dalam serangan yang terjadi di distrik distrik Bolan, Baluchistan itu.
Di Khuzdar, masih di provinsi Baluchistan, satu orang tewas dan dua orang luk, ketika sekelompok militan menembaki sebuah kontainer milik NATO.
NATO menggunakan jalan darat dari Pakistan, untuk membawa kebutuhan logistik pasukan AS di Afghanistan. Truk-truk meraka kerap menjadi target serangan kelompok militan saat melintas di wilayah barat laut dan barat daya Pakistan. Dalam dua tahun belakangan ini, NATO kehilangan ratusan kendaraan dan truknya akibat serangan tersebut.
Kelompok pro-Taliban mengklaim sebagai pelaku serangan, dengan dalih pembalasan atas serangan-serangan udara AS di wilayah Pakistan yang sudah banyak menelan korban di kalangan warga sipil. (ln/prtv)
-------------------------------
Jihad di Jalan Allah
Wednesday, 13/05/2009 15:35 WIB
Al-Imam Ibnul-Qayyim telah membuat uraian ringkas mengenai masalah jihad dalam Islam melalui sebuah bukunya yang berjudul Zaadul-Maad dalam fasal yang berjudul “Susunan Petunjuk Rasulullah mengenai Orang Kafir dan Munafiq Sejak Mulai Nabi Dibangkitkan Hingga Beliau Wafat.”
Uraian itu sebagai berikut: “Wahyu yang mula-mula sekali diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah wahyu yang menyuruhnya membaca dengan nama Tuhannya. Wahyu inilah
yang menandakan permulaan kenabian beliau. Dalam peringkat ini, beliau disuruh membaca untuk diri beliau sendiri dan belum disuruh menyampaikannya kepada orang lain.
Kemudian turun pula ayat “Wahai Orang Yang Sedang Berselimut, Bangkit dan Sampaikanlah Ancaman Allah SWT.” Pengangkatan beliau menjadi Nabi melalui surah BACALAH (Iqra’) dan pengangkatan beliau menjadi rasul melalui ayat “Wahai orang yang sedang berselimut” (surah al-Mudattsir: 1 ).
Beliau kemudian disuruh menyampaikan berita ancaman kepada kaum keluarganya yang terdekat, diikuti pula dengan penyampaian seruan yang beliau lakukan kepada seluruh kaumnya, kemudian kepada orang-orang Arab di sekelilingnya, terus kepada seluruh bangsa Arab dan umat manusia.
Beliau hidup sepuluh tahun lebih sesudah kenabiannya menyampaikan dakwah tanpa kekerasan dan peperangan, juga tanpa pungutan jizyah. Beliau telah disuruh berlembut serta tahan menderita. Sesudah itulah, beliau diizinkan berhijrah ke Madinah dan diperbolehkan berperang. Lalu beliau disuruh memerangi orang yang memeranginya dan jangan mengganggu orang yang tidak mengganggu dan tidak memusuhinya.
Sesudah itu, beliau diperintah memerangi orang musyrikin hingga agama itu menjadi kepunyaan Allah SWT.
Setelah keluarnya perintah jihad ini, orang kafir terbagi menjadi tiga golongan:
1. Golongan yang berdamai dan tidak memusuhi Islam.
2. Golongan yang memusuhi dan memerangi Islam.
3. Golongan dzimmi, yaitu golongan yang menyatakan kepatuhannya kepada negara Islam dan mendapat jaminan hidup aman di bawah pemerintahan Islam.
Terhadap golongan pertama, yaitu golongan yang berdamai tidak memusuhi Islam, beliau disuruh menunaikan hak mereka, dan diperintah supaya setia memegang janji dengan mereka, selama mereka tidak melanggar janji itu. Seandainya ada keraguan kalau mereka berlaku curang dan khianat, maka perjanjian itu bisa dihapus. Tapi, dicek dulu sikap mereka dan jangan memerangi mereka sehingga diberitahu bahwa mereka telah bersikap khianat dan melanggar janji, kemudian baru menyatakan perang kepada mereka.
Surah Baraah (dikenal juga dengan nama Surah Attaubah) merupakan panduan yang lengkap dalam hal perjanjian damai dan perang.
Beliau telah diperintah memerangi musuhnya dari golongan ahlil-kitab hingga mereka membayar jizyah atau mereka masuk Islam. Beliau disuruh juga memerangi orang kafir yang lain dari ahlil-kitab dan kaum munafiq dan bersikap keras terhadap mereka. Lalu beliau pun memerangi orang-orang kafir dengan menggunakan senjata dan menghadapi orang-orang munafiq dengan menggunakan hujjah dan alasan dalam perdebatan.
Beliau juga telah diperintah melepaskan diri dari ikatan janji setia terhadap orang-orang kafir dan menghapus segala perjanjian setia seperti itu.
Di samping itu pula, orang-orang kafir yang terikat dengan janji itu terbagi kepada tiga golongan:
1) Golongan yang diperintah supaya dimusuhi dan diperangi, yaitu golongan yang sengaja melanggar janji itu. Beliau pun terus memerangi mereka hingga beliau beroleh kemenangan.
2) Gologan orang kafir yang terikat janji dengan beliau untuk suatu waktu tertentu dan mereka tidak melanggar janji itu dalam waktu yang telah ditetapkan dan tidak menonjolkan sikap permusuhan terhadap beliau. Untuk golongan ini, beliau diperintahkan supaya memegang janji itu hingga habis waktunya.
3) Golongan yang tidak terikat segala janji dengan beliau dan tidak juga memusuhi beliau. Kepada golongan ini, beliau disuruh memberi waktu empat bulan. Bila selesai waktku empat bulan itu beliau pun memerangi golongan yang melanggar janjinya, dan memberi waktu kepada golongan yang tidak terikat dengan segala janji, atau pun terikat dengan suatu janji yang terbuka, untuk selama empat bulan.
Beliau juga diperintah menunaikan janji kepada golongan yang setia memegang janjinya sehingga selesai masa janji itu, lalu mereka semua pun menganut Islam. Setelah selesai waktu yang dijanjikan, beliau pun membuat ketetapan bahwa orang-orang yang tidak mau menganut Islam tapi menginginkan perlindungan (dzimmah) supaya membayar jizyah.
Dengan demikian, maka setelah turunnya Surah Baraah, orang kafir terbagi kepada tiga golongan dan kategori:
1) Golongan yang memusuhi beliau (Rasulullah SAW)
2) Golongan yang terikat dengan janji
3) Golongan yang memohon perlindungan (dzimmah)
Lalu sebagian besar golongan yang berdamai dan terikat dalam perjanjian dengan beliau dan golongan yang memohon perlindungan itu menganut agama Islam, hingga kemudiannya orang-orang kafir itu terbagi kepada dua golongan saja, yaitu golongan musuh dan golongan yang mohon perlindungan (dzimmi), sedangkan golongan yang bermusuhan dengannya senantiasa takut kepadanya.
Jadi, penduduk dunia di zaman beliau SAW ada tiga golongan saja, yaitu:
1) Golongan umat Islam yang percaya kepada ajaran-ajarannya.
2) Golongan kafir yang berdamai dengannya dan memohon perlindungannya.
3) Golongan kafir yang memusuhinya, tapi senantiasa takut dengan kekuatannya.
Adapun mengenai sikap dan tindakannya terhadap orang munafiq, maka beliau saw. telah diperintah menerima saja sikap lahir mereka dan menyerahkan hakikat rahasia hati mereka kepada Allah. Beliau juga diminta untuk menghadapi mereka dengan menggunakan hujjah dan alasan serta kebijaksanaan, seperti mana beliau telah diperintah supaya bersikap keras dan tegas terhadap mereka bilamana perlu.
Beliau juga telah diarahkan supaya menjawab dan menangkis kata-kata ejekan dan sindiran mereka dengan kata-kata yang setimpal. Malah Allah SWT pernah melarang beliau menshalati dan mendoakan jenazah mereka serta menziarahi kuburan mereka. Allah SWT memberitahu beliau bahwa seandainya beliau (Rasulullah SAW sendiri) yang memohon supaya Allah mengampunkan orang-orang munafiq itu, mereka tidak akan diampuni. Inilah sikapnya terhadap musuh-musuhnya dari kalangan orang kafir dan munafiq.
Dari keterangan ringkas yang sangat jelas dan tepat mengenai peringkatperingkat perjuangan (jihad) di dalam Islam, maka terang dan nyatalah sudah ciri-ciri asli dalam jalannya gerakan agama ini, yang perlu diperhatikan. Di samping itu kita juga dapat memberi penjelasan dan membuat uraian secara ringkas pula:
Ciri pertama: fakta-fakta yang benar-benar berlaku di dalam gerakan agama ini; gerakan menghadapi realitas hidup manusia, menghadapinya dengan cara yang sesuai dan selaras dengan wujudnya di dalam kenyataan. Ia hadapi jahiliyah dalam segi iktikad dan konsep, dan dengan demikian maka gerakan Islam itu menghadapi realitas dengan membawa perkara-perkara yang selaras dengan realitas itu sendiri.
Ia menghadapinya dengan dakwah dan seruan, dengan keterangan dan penjelasan untuk membetulkan iktikad dan kepercayaan, ia hadapi dengan kekuatan dan perjuangan untuk menghapus sistem dan kekuasaan yang sedang berkuasa dan merintangi jalannya, yang menghalanginya dari menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, yang menekan mereka dengan kekerasan dan paksaan serta penyesatan supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Tuhan mereka yang sebenar gerakan yang tidak cukup dengan keterangan dan penjelasan saja dalam menghadapi kekuasaan yang berbentuk materi, seperti juga ia tidak menggunakan kekerasan dan kekuasaan materi dalam menghadapi hati nurani umat manusia.
Ini semua adalah sama dalam jalan gerakan agama ini untuk mengajak manusia supaya tidak
mengabdikan diri kepada sesama manusia dan kembali mengabdikan diri kepada Allah saja sebagaimana keterangan yang akan disebutkan nanti.
Ciri yang kedua dari program agama ini ialah realitas dari sebuah organisasi, karena agama ini merupakan satu gerakan yang punya banyak tahap dan peringkat. Setiap tahap dan peringkat itu mempunyai jalan dan cara yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya yang sebenar, dan setiap peringkat itu pula berhubungan rapat dengan peringkat-peringkat berikutnya.
Agama ini tidak cukup menghadapi realitas itu dengan teori saja, seperti juga ia tidak menerima peringkat-peringkat realitas itu dengan cara beku dan kaku. Orang-orang yang membawa ayat-ayat Al-Quran sebagai dalil mengenai program agama ini dalam masalah jihad, tanpa memperhatikan ciri ini, dan tanpa memberikan perhatian berat kepadanya di dalam tahap-tahap dan peringkat yang dilalui oleh program itu, serta jalinan hubungan ayat-ayat Al-Quran itu dengan setiap tahap dan peringkat perjuangan orang-orang yang berbuat demikian adalah orang-orang yang mencampur aduk dan memalingkan hakikat agama ini ke arah jalan yang menyesatkan.
Mereka membawa ayat-ayat Al-Quran itu ke arah dasar dan kaedah yang bertentangan dengannya. Mereka beranggapan bahwa setiap patah ayat Al-Quran itu adalah merupakan nas terakhir dan malah merupakan kaedah asasi yang terakhir. Lalu mereka katakan - sedang mereka adalah orang-orang yang busuk jiwa dan fikiran di bawah tekanan dan pengaruh realitas, mereka adalah orang-orang yang lumpuh dan putus asa melihat kelemahan dan kerendahan hidup sebagian orang-orang Islam yang masih tinggal nama saja.
Mereka beranggapan bahwa Islam itu berjuang dan berjihad semata-mata hanya untuk mempertahankan diri saja! Mereka menyangka bahwa mereka berbuat bakti kepada agama ini dengan menariknya keluar dari program asalnya yaitu menghapuskan taghut dari bumi Allah ini dan menyuruh manusia mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Menyelamatkan umat manusia dari menyembah dan memuja sesama umat manusia kepada menyembah dan memuja Allah, bukan dengan cara memaksa mereka menganut agama ini; dengan cara memberi peluang kepada mereka mengkaji hakikat akidah agama ini, sesudah sistem politik jahiliyah yang sedang berkuasa itu dihancurkan, atau setelah sistem pemerintahan jahiliyah itu dikalahkan dan menyerah diri kepada akidah ini, dan memberikan kebebasan kepada seluruh umat manusia untuk menganut atau tidak menganut akidah ini berdasarkan kebebasan dan kemerdekaan yang sebenarnya.
Ciri yang ketiga ialah bahwa walaupun bentuk gerakan senantiasa berubah dan cara selalu bertukar ganti, tapi tidak boleh menyebabkan agama ini menyeleweng dari kaedah dan tujuan yang telah ditentukan.
Agama ini –sejak hari-hari pertamanya – baik ketika ia mengarahkan percakapannya kepada keluarga Nabi yang terdekat, atau kepada kaum Quraisy dan seluruh umat manusia di dunia ini, sesungguhnya ia memperkatakan tentang satu kaedah saja dan meminta mereka bertumpu kepada satu tujuan saja, yaitu memurni dan mengikhlaskan pengabdian mereka kepada Allah saja dan keluar sama sekali dari setiap bentuk pengabdian kepada sesama umat manusia.
Setelah itu, dia hendaklah terus bergerak dan bertindak melaksanakan planning yang telah ditetapkan, melalui tahap dan peringkat tertentu, dengan caranya sendiri, seperti telah kita uraikan di atas.
Ciri yang keempat ialah ketetapan syariat mengenai hubungan antara masyarakat Islam dengan masyarakat-masyarakat lain, mengikut cara dan dasar dari ringkasan yang telah kita petik dari buku ZAADUL MA'AD dan berjalannya ketetapan di atas landasan bahwa penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah itulah yang berbentuk universal yang seluruh umat manusia mesti berteduh di bawah lindungannya dan janganlah ada sedikit pun penghalang berupa sistem politik dan pemerintahan atau kekuatan materialis atau suasana yang menghalangi terlaksananya penyerahan diri kepada Allah. Hendaklah diberi kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk memilih sendiri, apakah dia mau atau tidak, tanpa sedikit pun halangan dan paksaan.
Seandainya ada pihak mana saja yang menghalangi dan memaksa, maka sudah menjadi kewajiban Islam untuk memeranginya hingga ia tewas atau menyerah diri.
Orang-orang yang rusak jiwa dan fikiran, yang menulis mengenai masalah JIHAD DALAM ISLAM dengan maksud mempertahankan Islam dari serangan orang; lantas mereka mencampur-adukkan program dan dasar agama Islam mengenai “tiada paksaan dalam beragama”, dengan dasarnya untuk menghancurkan kekuatan dan kekuasaan politik yang berbentuk materi yang bisa menghalangi umat manusia dari menganut Islam, kekuatan dan kekuasaan yang telah menjadi puncak umat manusia saling mengabdikan diri kepada sesama umat manusia dan menghalangi mereka dari mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Sedangkan keduanya (yaitu program Islam mengenai tiada paksaan dalam beragama dan programnya untuk menghapus segala kekuasaan yang menghalanginya) adalah merupakan masalah yang terpisah dan tidak bisa dicampur-aduk.
Oleh karena campur-aduk dan fikiran seperti itulah yang telah mereka coba untuk membatasi jihad Islam itu ke dalam lingkungan yang sangat sempit dengan diberi nama “Jihad yang berbentuk mempertahankan diri” sedangkan jihad dan perjuangan Islam itu adalah suatu masalah lain yang tiada sangkut pautnya dengan peperangan umat manusia zaman kini seperti yang dikenal sekarang.
Sudah sepatutnya diberikan perhatian tentang sebab musabab jihad Islam diikuti dari ciri perkataan “Islam” yang berarti “penyerahan diri” itu sendiri dan juga dari peranannya dalam dunia ini, dari tujuan dan matlamat tertingginya yang telah ditetapkan oleh Allah yang telah menyebutkan bahwa untuk mencapai matlamat itulah maka Rasulullah SAW telah diutus membawa pengajaran dan risalahnya dan dijadikan beliau sebagai penutup segala nabi.
Islam adalah merupakan suatu proklamasi umum untuk membebaskan “umat manusia” di “bumi” ini dari menjadi mangsa pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dari menjadi mangsa pengabdian kepada hawa nafsu serakahnya, hawa nafsu yang pada hakikatnya adalah sama-sama menjadi hamba Allah. Proklamasi itu berbentuk pengakuan ketuhanan Allah Yang Maha Esa.
Proklamasi ketuhanan Allah itu berarti suatu revolusi sepenuhnya terhadap kekuasaan sesama umat manusia dalam segenap bentuk dan rupa serta dalam apa pun bentuk pemerintahan umat manusia di atas muka bumi ini, di mana saja umat manusia itu menjalankan pemerintahan berpandu kepada undang-undang bikinan mereka sendiri; atau dengan perkataan lain: KETUHANAN manusia dalam apa pun bentuknya.
Pemerintahan yang menjadikan manusia-manusia sebagai sumber kekuasaan dan undang-undangnya dalam mana suatu golongan manusia dianggap sebagai pihak yang berkuasa dan menjadi TUHAN yang berhak menentukan nasib golongan yang lain.
Sesungguhnya, proklamasi itu berarti mengambil balik kekuasaan Allah yang telah dirampas dan direnggut itu untuk dikembalikan kepada Allah, juga berarti menghalau dan menghapuskan para perampok yang masih memperkosa kekuasaan Allah itu, yang memerintah umat manusia berdasarkan undang-undang yang mereka buat sendiri.
Mereka itu - dengan perbuatan seperti itu - telah meletakkan diri mereka sendiri setaraf dengan Allah dan rakyat yang mereka perintah pula adalah setaraf dengan hamba abdi. Proklamasi itu juga berarti menghancurkan pemerintahan manusia untuk digantikan oleh pemerintahan Allah di bumi-Nya, seperti yang digambarkan oleh Al-Quran:
“Dan Dialah [Allah] itu Tuhan yang berkuasa memerintah di langit dan berkuasa juga memerintah di bumi.” (Az Zukhruff: 84)
dan FirmanNya,
“Kekuasaan dan pemerintahan itu adalah kepunyaan Allah Dia [Allah] perintahkan kamu sekalian jangan mengabdikan diri kepada yang lain daripada-Nya [Allah]. Itulah agama yang lurus.” (Yusuf: 40)
dan firmanNya,
“Katakanlah [ajarkanlah] wahai Muhammad: wahai ahli kitab, marilah kita [pegang] satu saja [dasar] antara kami dan kamu: [Yaitu] dasar bahwa kita tidak [akan] menyembah [mengabdikan diri] kepada Tuhan yang lain daripada Allah, dan kita tidak akan sekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya [Allah] dan tidak pula setengah kita [orang awam atau rakyat jelata] menganggap setengah yang lain sebagai Tuhan, selain daripada Allah. Dan seandainya mereka [masih] berkeras juga, maka katakanlah kepada mereka: Persaksikanlah bahwa kami semuanya adalah orang Islam [yang menyerah diri sepenuhnya kepada Allah]. (Ali Imraan: 64)
Pemerintahan Allah di bumi-Nya ini tidak mungkin tegak terlaksana dengan cara pemerintahan itu dikendalikan oleh orang atau golongan tertentu, seperti para padri dan pendeta dan orang-orang yang menamakan dirinya tokoh-tokoh atau orang-orang agama, seperti yang telah berlaku dalam sistem pemerintahan gereja di Eropah zaman pertengahan; tidak pula dalam bentuk orang atau golongan tertentu berbicara sebagai wakil Tuhan, seperti yang berlaku di dalam sistem pemerintahan THEOCRACY atau “Kerajaan Suci”.
Bukan itu bentuknya. Melainkan, dengan melaksanakan syariat Ilahi dan semua urusan hidup dijalankan berpandu kepada ajaran Allah.
Menegakkan Kerajaan Allah di muka bumi ini, melaksanakan syariat dan undang-undang Allah, merebut kembali kekuasaan Allah dari tangan manusia durjana yang merampas hak-hak Allah, memansukhkan undang-undang bikinan manusia tidak akan berhasil hanya dengan berdakwah saja, bertabligh dengan berpidato saja. Orang-orang yang kecanduan mencengkram leher sesama manusia, kecanduan merampas kekuasaan Allah, tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka hanya dengan dakwah, tabligh dan penerangan saja. Sebab kalau dakwah tabligh dan penerangan saja sudah cukup, maka alangkah ringan dan mudahnya tugas itu dan alangkah mudahnya kerja para Rasul menegakkan agama Allah di muka bumi ini sejak zaman berzaman.
Proklamasi umum untuk membebaskan umat manusia daripada menjadi mangsa pengabdian oleh sesama manusia dan menegakkan kekuasaan Allah saja, bukanlah merupakan suatu proklamasi yang berpandukan teori falsafah yang negatif. Ia merupakan proklamasi yang berpijak di bumi nyata dan disertai dengan gerakan yang positif, disertai oleh pelaksanaan yang praktis dalam bentuk suatu sistem pemerintahan yang berpandukan syariat Allah, menghapuskan pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dan umat manusia mengabdikan diri dan bertuhan hanya kepada Allah saja tanpa sekutu bagi-Nya.
Dengan demikian maka hendaklah usaha berdakwah dan memberikan penerangan itu berjalan serentak, dan seimbang dengan gerakan melaksanakan tujuan proklamasi itu.
Oleh karena ia suatu proklamasi umum bagi kemerdekaan dan kebebasan seluruh UMAT MANUSIA di seluruh MUKA BUMI, kemerdekaan dan kebebasan dari segala kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah, maka agama Islam, di sepanjang zaman gerakannya, terpaksa berhadapan dengan beraneka ragam rintangan dan halangan, baik yang berbentuk akidah dan konsep hidup, maupun yang bercorak materi dan realitas, termasuk sistem politik, corak pemerintahan, sosial, ekonomi, pertentangan kelas dan berbagai bentuk ajaran thagut.
Kalaulah penerangan (dakwah) terpaksa menghadapi masalah iktikad dan konsep hidup, maka gerakan terpaksa pula menghadapi beraneka halangan berbentuk materi, bermula dari kekuasaan politik (status quo dan vested interest), yang menguasai bidang kepercayaan di samping melindungi faham perkauman, realitas hidup dan organisasi sosial dan ekonomi yang berliku-liku. Kedua-duanya (penerangan (dakwah) dan gerakan) terpaksa menghadapi realitas KEMANUSIAAN seluruhnya dengan cara yang sesuai dengan peranan dan keadaan masing-masing.
Kedua-duanya adalah syarat mutlak untuk memulakan gerakan membebaskan umat manusia di bumi ini, seluruh UMAT MANUSIA dan di seluruh MUKA BUMI. Syarat mutlak yang mesti dilaksanakan!
Sesungguhnya agama Islam bukanlah hanya sekadar suatu proklamasi kebebasan dan kemerdekaan manusia dan bumi Arab saja! Perutusan dan messagenya bukanlah khas untuk orang-orang Arab saja, sebab dasar dan tajuk percakapannya ialah “manusia” setiap jenis manusia dan lapangannya ialah “bumi”, setiap keping bumi, sebab Allah bukanlah Tuhan bagi orang-orang Arab saja dan bukan juga Tuhan untuk penganut-penganut Islam saja bahkan Dia adalah Tuhan SERU SEKALIAN ALAM dan agama itu adalah bertujuan mengembalikan “alam” ini seluruhnya ke pangkuan TUHAN-nya mencegah mereka dari menyembah dan mengabdikan diri (beribadat) terhadap yang lain daripada-Nya, sebab penghambaan yang paling besar, dalam pandangan Islam, ialah sifat patuh dan tunduk mahusia kepada undang-undang yang dibikin oleh manusia sendiri untuk diterima dan dipatuhi oleh sesama umat manusia inilah dia inti pengertian “ibadat”.
Yang mereka berikrar bahwa “ibadat” itu hanya untuk Allah saja, kepada Allah saja, di hadapan Allah saja, dan siapa saja yang melakukan ibadat, menumpukan pengabdian dan kepatuhan kepada yang lain dari Allah, maka berarti dia telah keluar dari agama Allah, walaupun dia mengaku, mendakwa dan menepuk dada bahwa dia adalah seorang muslim.
Rasulullah SAW telah membuat penegasan bahwa “kepatuhan” dalam peraturan hidup, undang-undang dan dasar pemerintahan itu adalah merupakan sejenis “ibadat” yang menyebabkan orang Kristian (Nasrani) dipandang sebagai orang musyrikin yang menentang dan mengingkari perintah Allah supaya “ibadat” itu ditumpukan kepada Allah saja.
Imam At-tirmidzi telah meriwayatkan, dengan sanadnya, mengenai cerita Adi bin Hatim r.a. bahwa setelah sampai kepadanya dakwah Rasulullah SAW, beliau tidak mau memeluk Islam dan terus melarikan diri ke Syam, karena beliau telah menganut agama Kristian sejak zaman jahiliyah. Seorang saudara perempuannya (barangkali kakaknya) dengan disertai oleh beberapa orang terkemuka kaumnya telah jatuh menjadi orang tawanan tentara Islam; tetapi Rasulullah merasa kasihan kepada saudara perempuannya itu lalu beliau membebaskannya.
Setelah dibebaskan, saudara perempuan Adi bin Hatim pulang menemui beliau (Adi) lalu diajaknya beliau menganut Islam dan datang mengadap Rasulullah SAW di Madinah. Kedatangan mereka berdua, kakak beradik, itu rupanya menjadi buah mulut penduduk Madinah, karena beliau (Adi) masuk menghadap Rasulullah dengan keadaan memakai sebatang salib (cross) perak di lehemya.
Kebetulan pada ketika itu, Rasulullah SAW sedang menyampaikan firman Allah yang bermaksud: Orang-orang Yahudi dan Kristen telah memandang padri-padri, rahib-rahib pendeta dan ketua agama mereka sebagai Tuhan selain dari Allah.
Mendengar bacaan ayat ini Adi pun langsung menjawab: “tidak, mereka itu (Yahudi dan Kristian) tidak menyembah dan melakukan ibadat terhadap para padri dan rahib itu”, lalu Rasulullah SAW pun menjawab dengan tegasnya: “bahkan! ketegasan ini sangat benar, karena pada padri dan rahib itu telah mengharamkan perkara-perkara yang dihalalkan oleh Allah, mereka menghalalkan perkara-perkara yang Allah haramkan, lalu mereka (orang-orang Yahudi dan Kristian itu) terima dan patuh saja menerima keputusan yang dibuat oleh para padri dan rahib itu. Itulah arti dan maksud ibadat mereka terhadap padri dan rahib itu.”
Tafsiran Rasulullah SAW atas firman Allah ini adalah merupakan nas dan sandaran hukum yang pemutus, Yang memberi kesimpulan bahwa sikap tunduk, patuh dan menerima saja dalam masalah perundangan dan pemerintahan adalah juga berarti pengabdian yang dapat menyebabkan individu dan golongan yang berkenaan itu keluar dari agama Islam dan juga bisa membawa arti bahwa sikap seperti itu adalah satu bentuk pendewaan dan pemujaan, malah mempertuhankan sesama manusia sendiri, yaitu suatu masalah yang hendak dikikis habis oleh Islam dan kehadiran Islam pun adalah bertujuan untuk memproklamasikan kebebasan MANUSIA di muka BUMI dari mengabdikan diri kepada yang lain daripada Allah.
Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain Allah.
Yaitu, yang memerintah mereka dengan memakai undang-undang dan syariat yang lain selain undang-undang dan syariat Allah, dan yang menutup umat manusia dari mendengar dakwah dan menganut akidah dengan aman dan bebas, tanpa dihalangi oleh kekuasaan apa pun.
Islam harus tegak dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan gerakan pembebasan itu berjalan lancar dan teratur, setelah hapus kekuasaan yang menghalanginya, apakah kekuasaan itu berbentuk kekuasaan politik atau disertai dengan dasar-dasar perkauman, pertentangan kelas atau lain-lain.
Islam sama sekali tidak memaksa umat manusia menganut akidah atau kepercayaannya, tapi perlu diingat bahwa Islam bukan hanya suatu akidah. Seperti telah kita utarakan sebelumnya, Islam juga suatu proklamasi umum bagi pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama umat manusia.
Islam juga mempunyai suatu tujuan pokok untuk menghapus dan mengikis sistem dan pemerintahan yang berdasarkan penindasan dan pengabdian oleh umat manusia atas sesama umat manusia. Setelah setiap individu diberi kebebasan yang sejati untuk memilih sendiri akidah dan pegangan hidup masing-masing, berdasarkan kehendak dan pilihan sendiri dalam keadaan kebebasan sepenuhnya, setelah tiada lagi tekanan politik dan ancaman pihak berkuasa ke mereka, setelah ruh dan jiwa mereka mendapat sinar penerangan yang secukupnya mengenai Islam dan lain-lain agama dan pegangan hidup.
Kebebasan itu tidak pula berarti bahwa mereka bebas untuk bertuhankan hawa nafsu dan mereka merelakan diri untuk mengabdikan diri kepada sesama umat manusia, atau untuk menjadikan sesama umat manusia sebagai Tuhan yang dipatuhi segala suruhan dan larangannya, atau juga untuk mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Allah saja.
Sesungguhnya sistem yang memerintah umat manusia di muka bumi ini hendaklah berdasarkan pengabdian diri umat manusia kepada Allah SWT. Yaitu dengan cara menerima undang-undang dan syariat Allah saja, di mana setiap individu mesti menerima arahan dan perintah Allah. Sesudah itu, bolehlah setiap individu menganut akidah apa pun yang mereka suka.
Dengan demikian, barulah agama itu menjadi kepunyaan Allah saja, sebab perkataan agama atau “addin” itu sendiri sebenarnya mengandung pengertian yang lebih luas daripada perkataan akidah. Addin ialah peraturan hidup dan undang-undang yang menguasai sendi-sendi kehidupan dan ia mesti berdasarkan akidah.
Di dalam Islam perkataan “addin” mencakup pengertian yang lebih luas daripada “akidah”. Dalam Islam, sebuah organisasi atau masyarakat bisa tunduk kepada program dan panduan umum Islam yang berasaskan pengabdian diri kepada Allah saja, walaupun ada unit-unit tertentu di dalam masyarakat itu yang tidak menganut akidah Islam.
Orang-orang yang mengerti akan tabiat agama ini (Islam) - mengikut cara yang telah diuraikan tadi - akan mengerti dan faham tentang betapa penting dan perlunya sebuah organisasi yang aktif dan dinamis yang dibawa oleh Islam dalam bentuk perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata di medan perang, di samping perjuangan di medan penerangan (dakwah).
Mereka juga tentu mengerti dan faham bahwa perjuangan Islam itu bukanlah suatu perjuangan untuk mempertahankan diri saja, menurut pengertian yang sempit, seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang frustasi berhadapan dengan tekanan yang kononnya realita, atau dengan serangan dan kecaman kaum orientalis yang bermaksud hendak menggambarkan bahwa gerakan jihad di dalam Islam semata-mata suatu gerakan mempertahankan diri saja.
Seandainya gerakan jihad Islam itu terpaksa dinamakan sebagai “gerakan mempertahankan diri” maka kita perlu mengubah pengertian perkataan “bertahan” atau “pertahanan”. Kita mesti menganggapnya sebagai “pertahanan terhadap manusia” itu terdiri dari segala sebab yang menghalangi kebebasannya, baik yang berbentuk konsep atau cara berfikir, atau yang berbentuk susunan ekonomi atau pertentangan kelas yang telah kokoh. Islam datang dan terus wujud dalam beraneka bentuknya di zaman jahiliyah modern ini.
Dengan meluaskan pengertian kata “pertahanan”, kita bisa memahami hakikat gerakan Islam di BUMI ini dengan cara berjihad dan kita bisa mengerti hakikat Islam itu sendiri sebagai suatu proklamasi umum yang terbuka ke arah pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama manusia dan dari mempertuhankan sesama umat manusia kepada pengakuan ketuhanan serta kekuasaan Allah untuk seluruh alam ini, menghancurkan kekuasaan hawa nafsu manusia di muka bumi ini.
Adapun usaha untuk menyempitkan pengertian jihad Islam dan menyebutnya sebagai gerakan “bertahan” mengikuti pengertian zaman modern ini, juga usaha untuk mencari alasan untuk memperkecil peristiwa-peristiwa jihad di dalam Islam. Bahwa, jihad semata-mata untuk menentang ancaman kekuatan luar terhadap negeri Islam, yang oleh sebagian orang dipandang bahwa negeri Islam ialah Semenanjung Arab saja, maka usaha itu adalah merupakan suatu usaha yang.berawal dari kurang pengertian mengenai tabiat agama ini dan tabiat peranannya dalam seluruh masalah di muka bumi ini, seperti juga usaha itu menekan sikap menyerah berhadapan dengan realita zaman modern dan kecaman pada orientalis terhadap pengertian jihad Islam.
Cobalah anda lihat dan fikir, seandainya Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. merasa bahwa Semenanjung Arab itu selamat dari ancaman permusuhan dari kerajaan Romawi dan Parsi, adakah mereka berdiam diri saja tanpa menjalankan gerakan meluaskan pengaruh agama ini ke seluruh pelosok dunia?
Lihatlah lagi bagaimana mereka telah menyebarkan agama ini, sedangkan halangan dan rintangan begitu hebat menghalangi mereka, baik yang berbentuk sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi, dengan dilindungi dan dikawal oleh negara-negara raksasa.
Adalah suatu kebodohan bahwa dakwah yang memproklamirkan kebebasan manusia untuk semua manusia di muka “bumi” dan negeri di dunia ini, kemudian hanya berdiri tegak menghadapi rintangan dan halangan dengan hanya bersenjatakan lidah dan pena saja!
Sesungguhnya dakwah ini berjuang melalui penerangan secara lisan dan pena saja ketika ia bebas berbicara dan berdialog dengan setiap orang dalam suasana penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa dihalangi oleh apa pun. Ketika itulah baru dianggap berlakunya perintah dan dasar “tiada paksaan dalam beragama ( لااكراه في الدبن ). Tapi, bila ada halangan, maka hendaklah terlebih dahulu halangan itu dihapuskan dengan kekerasan dan paksaan, supaya dakwah bisa mengetuk pintu hati dan fikiran umat manusia dengan bebas, tanpa gangguan.
Jihad adalah syarat utama bagi perjalanan dakwah ini, karena tujuannya memproklamirkan kebebasan umum umat manusia hingga ia mampu menghadapi realita dari segenap segi. Ia tidak cukup dengan hanya memberi penerangan dan penjelasan seputar filsafat saja, sementara tanahair Islam, atau mengikuti istilah Islam yang sebenarnya “Negara Islam” (Darul-Islam) itu terancam oleh kekuatan negara asing.
Ketika Islam mencari perdamaian, maka yang dicarinya bukan sejenis perdamaian yang rendah mutu dan nilainya, yaitu semata-mata hendak mengamankan secuil tanah, yang didiami oleh kaum muslimin. Yang dikehendaki Islam ialah perdamaian yang menjamin bahwa kepatuhan umat manusia itu tertumpu sepenuhnya kepada Allah saja, dengan pengertian bahwa ketundukan dan kepatuhan umat manusia itu tertumpu dan tertumpah kepada Allah saja, baik soal ibadat maupun urusan hidup di dunia, tidak boleh sedikit pun tersisa pengabdian oleh manusia terhadap sesama manusia.
Penentuan sukses atau gagalnya jihad Islam itu tidak boleh dilihat dari putaran pertama, putaran pertengahan atau putaran akhir dari sesuatu perjuangan. Melainkan, dilihat dari sejauh mana dampak jihad terhadap kedudukan orang-orang kafir di dalam sesuatu negara; apakah dapat dijadikan seperti kedudukan mereka sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ibnul-Qayyim di dalam kitabnya Zaadul-Maad dengan arti bahwa akhimya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu golongan orang Islam, golongan dzimmi dan golongan harbi yang senantiasa bimbang dan takut kepada orang Islam dan pemerintah Islam. Itulah indakator jika Jihad Islam berjalan di atas landasan yang sebenarnya. Tapi sekiranya kedudukan orang-orang kafir terus menerus dengan kufurnya, tanpa keraguan apa pun; maka nyatalah jihad Islam itu gagal.
Inilah dia sikap penuh nalar dari agama ini. Bukan seperti yang difahamkan oleh orang yang keliru dan frustasi dalam menghadapi realita zaman sekarang dan dalam menghadapi para orientalis yang penuh kelicikan itu.
Sesungguhnya Allah SWT telah menghindarkan orang-orang Mekah dan di zaman permulaan hijrah ke Madinah dari kewajiban berjihad. Umat Islam diperintah supaya “genggam tangan kamu dan dirikanlah sembahyang”". Setelah itu baru mereka diizinkan berperang, dengan perintah wahyu:
“Diizinkan kepada orang-orang Islam yang dimusuhi itu untuk berperang karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk menolong dan memberi kemenangan kepada mereka. [Yaitu] orang-orang yang telah diusir keluar dari negeri dan kampung halaman mereka dengan cara yang tidak benar, melainkan [semata-mata] disebabkan mereka berkata [menegaskan pendirian mereka “Allah Tuhan Kami”. Dan kalaulah bukan karena Allah membuat perimbangan di antara manusia niscaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan gereja, tempat-tempat sembahyang [Yahudi] dan juga masjid-masjid tempat nama Allah disebut orang di dalamnya; dan Allah pasti akan menolong siapa saja [individu dan umat] yang menolong menegakkan agamanya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuat [Berkuasa] dan Maha Mulia, yaitu orang-orang [individu dan umat Islam] yang bila Kami beri keteguhan kepada mereka [beri kekuasaan dan kedudukan yang baik] niscaya mereka menegakkan sembahyang dan membayar zakat, juga mereka memerintah dengan maaruf [dengan berpandu kepada ajaran Allah] dan mereka mencegah kemungkaran [sesuatu yang berlawan dengan perintah Allah] dan kepunyaan Allah jualah kesudahan segala masalah.” (Al-Haj: 39-41)
Kemudian mereka diperintah memerangi orang-orang dan atau golongan yang memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang memerangi orang atau golongan yang tidak memerangi mereka.
Firman Allah: “Dan hendaklah kamu sekalian berperang di jalan Allah [melawan] golongan dan orang yang memerangi kamu.” (Al-Baqarah: 19)
Kemudian baru mereka diperintah memerangi seluruh orang musyrik, melalui Firman:
“Maka hendaklah kamu sekalian memerangi kaum musyrikin seluruhnya seperti mereka memerangi kamu seluruhnya.” (At-taubah: 36)
Mereka juga telah diberi peringatan:
“Hendaklah kamu sekalian memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya telah haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu dari golongan ahli kitab [Yahudi dan Kristen], sehingga mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendah diri.” (At-Taubah: 29)
Jadi, berperang itu menurut pendapat Imam Ibnul-Qayyim pada awalnya dilarang, kemudian dibenarkan, kemudian disuruh lakukan terhadap individu dan golongan yang memulai peperangan itu, kemudian diperintah supaya perang itu dilakukan ke atas seluruh orang musyrikin.
Ketegasan nas-nas Al-Quran yang diturunkan mengenai masalah jihad dan perjuangan, dan ketegasan hadis Nabi yang penuh berisi rangsangan untuk berperang dan juga ketegasan peristiwa-peristiwa dan bukti sejarah dari kejadian dan keadaan di zaman kebangkitan Islam dahulu sesungguhnya nas dan bukti yang begitu terang dan nyata itu mestinya menyekat otak dan fikiran kita dari menerima penafsiran ala orang yang frustasi dalam menghadapi tekanan realita zaman kini dan juga dalam menghadapi kecaman para orientalis mengenai pengertian jihad di dalam Islam.
Siapakah gerangan di kalangan orang yang mengenal Allah dan RasulNya dan mendengar perintah-Nya mengenai hal ini, dan orang yang mengikuti jejak perjuangan Islam di dalam masalah jihad di dalam Islam yang sampai hati menganggap bahwa perintah jihad di dalam Islam merupakan perkara sampingan saja, yang hanya berlaku dalam suasana tertentu saja untuk sekadar menjaga keselamatan negeri saja?
Sesungguhnya Allah SWT telah menerangkan kepada orang-orang beriman melalui ayat yang sudah jelas untuk memberi lampu hijau bagi melakukan perang, bahwa perkara yang selalu berlaku di dalam hidup di dunia ini ialah bahwa Allah senantiasa menjaga perimbangan antara sesama golongan umat manusia itu sendiri supaya terhindarlah kerusakan di bumi ini (Al-Haj: 39-40) yang telah dihuraikan tadi.
Sebenarnya larangan berperang di zaman Mekah itu tidak lain dari suatu tahapan zaman dalam perjuangan yang panjang. Demikian juga dengan larangan berperang di zaman permulaan hijrah. Motif yang mendorong masyarakat Islam di Madinah selepas itu untuk bertindak dengan tujuan untuk mengamankan Madinah saja.
Memanglah itu menjadi tujuan utama yang tak dapat dihindarkan lagi; tetapi tindakan itu mempunyai tujuan dasar bagi menjamin lancarnya tindakan itu yang akan mengamankan markas pergerakan; pergerakan untuk pembebasan umat manusia dan menghapuskan “halangan” yang menyekat manusia dari bergerak bebas dan bertindak mengikuti panduan yang telah digariskan oleh Islam. Larangan berperang yang dikenakan ke atas orang-orang Islam di zaman Mekah adalah merupakan suatu perkara yang mudah difahami.
Di Mekah terdapat kebebasan berdakwah. Ditambah pula oleh fakta bahwa sebagai pemimpin
perjuangan ini Rasulullah SAW telah mendapat perlindungan di bawah kawalan senjata Bani Hasyim. Beliau mendapat perlindungan untuk berdakwah dan mengetuk pintu hati dan fikiran setiap orang, juga untuk menghadapi ancaman orang-orang tertentu; juga karena di Mekah tiada sebarang kuasa politik yang teratur untuk menyekat beliau dari menjalankan kegiatan dakwah dan menyekat orang dari menutup telinga dan fikiran ke arah dakwah beliau. Dengan demikian tidak ada sebab, pada tahapan ini, untuk menggunakan kekuatan, di samping terdapat juga beberapa faktor lain di peringkat ini.
Boleh jadi tahapan periode Mekah waktu itu merupakan tahapan periode pendidikan dan membuat persediaan atau persiapan, di dalam keadaan masyarakat tertentu, untuk golongan kaum tertentu dan di tengah lingkungan keadaan yang tertentu pula.
Di antara tujuan utama pendidikan dan persiapan dalam suasana yang seperti itu ialah mendidik dan melatih jiwa dan semangat orang Arab supaya tabah dan sabar menanggung kesusahan serta tahan menderita, supaya setiap orang terlepas dari kungkungan rasa cinta diri, supaya
hati mereka tidak lagi terikat dengan kebiasaan mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja.
Untuk mendidik mereka, diawali dari mengontrol saraf dan perasaan dari terus melakukan tindakan balas dendam, supaya tingkah laku dan tindak tanduknya dibuat dengan penuh teliti dan matang. Juga untuk mendidiknya hidup dalam masyarakat yang teratur yang tidak akan bertindak kecuali mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya, walaupun garis itu bertentangan dengan kepentingan dirinya, dan kebiasaan dan adat hidupnya. Ini merupakan dasar dalam menyediakan kepribadian masyarakat Islam yang tunduk di bawah satu pimpinan yang beradab.
Boleh jadi juga karena dakwah secara aman damai itu lebih berkesan seperti di dalam masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai sebuah masyarakat yang punya kebanggaan sendiri. Dalam tahapan ini, peperangan akan menyebabkan timbulnya kekerasan dan kekacauan seperti yang telah mencetuskan perang DAHIS dan AL GHABRA', pertempuran AL SABUS, bertahun-tahun lamanya, di mana beberapa suku dan qabilah menjadi musnah hancur. Kekacauan tersebut masih hangat dan kuat pengaruhnya di dalam ingatan mereka di zaman permulaan Islam.
Peperangan di awal dakwah pun akan menjadikan Islam terselewengkan dari suatu bentuk dakwah dan sebuah agama menjadi suatu pangkal permusuhan dan perpecahan; sedangkan ia (Islam) itu masih merupakan suatu hal baru.
Boleh jadi juga yang demikian karena hendak mengelakkan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, karena masih belum tampak suatu kekuasaan yang teratur dan dipatuhi orang, kekuasaan yang benar-benar berkerja menyiksa dan menganiaya serta menabur fitnah kepada orang-orang Islam. Kalau pun ada, pelakunya sebenarnya adalah perseorangan saja, pekerjaan individu yang punya banyak budak dan pengikut.
Dalam masyarakat seperti ini, peperangan berarti mencetuskan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, yang menyebabkan orang bisa salah sangka dan salah tanggap terhadap Islam, lalu mereka katakan: itulah dia Islam! Memang tuduhan seperti itu telah dinyatakan orang walaupun sebenarnya Islam telah mencegah dan melarang perang dalam suasana seperti itu. Tuduhan seperti itulah yang menjadi modal utama kaum Quraisy dalam gerakan propaganda mereka menentang Islam di setiap musim haji. Mereka katakan Muhammad telah memecah belah kaumnya sendiri.
Bayangkan apa yang terjadi seandainya beliau sendiri pula yang menganjurkan peperangan total di kalangan masyarakat kecil seperti itu!
Boleh jadi juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak orang yang jahat, keras hati dan suka mengganggu orang Islam di generasi pertama, yaitu orang yang mula-mula menganut agama Islam di hari-hari pertama pelantikan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan tujuan memaksa mereka keluar murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama syirik.
Gangguan ini dilakukan dengan bermacam cara, dengan teror dan siksaan, tapi ternyata kemudiannya, orang-orang itu sendiri pula menjadi tokoh penting dalam perjuangan agama Islam, malah ada pula yang menjadi pemimpin agung agama Islam. Bukankah Sayidina Umar bin AI Khattab salah seorang dari golongan ini?
Mungkin juga hal ini disebabkan oleh pengaruh sentimen kesukuan Arab dalam sebuah masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat bersuku dan berkabilah. Dalam masyarakat seperti ini perbuatan menolong dan membantu orang teraniaya dan dalam kesusahan, adalah suatu perbuatan yang lumrah; apalagi kalau penganiayaan itu terjadi pada orang yang dihormati dan disegani.
Banyak peristiwa yang membuktikan kebenaran pandangan ini. Sebagai contoh: Ibnu
Daghnah tidak rela membiarkan Sayidina Abu Bakar, seorang hartawan yang disegani, keluar berhijrah ke Madinah dan meninggalkan kota Mekah. Dalam anggapan beliau, berhijrahnya orang seperti Sayidina Abu Bakar adalah berarti aib besar bagi orang Arab seluruhnya. Oleh karena itulah beliau telah datang meminta kesudian Sayidina Abu Bakar menjadi tetangganya, dengan janji bahwa beliau akan memberikan perlindungan kepadanya.
Di antara peristiwa terakhir yang membenarkan pendapat ini ialah usaha memecahkan kepungan (blokade) terhadap Bani Hasyim dan dikoyaknya surat pernyataan boikot ke Bani Hasyim
dari golongan Abu Talib setelah sekian lama mereka menderita lapar dan susah; sedangkan di dalam sebagian masyarakat “beradab” zaman dahulu yang biasa menentang penindasan, selalu saja bersikap masa bodoh terhadap kesusahan seperti itu. Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai suatu sikap yang tercela dan berarti menghormati orang-orang zalim.
Boleh jadi juga karena sangat kecilnya jumlah orang-orang Islam ketika itu, sebab mereka hidup terkepung dalam kawasan di sekitar Mekah saja, karena dakwah Islamiyah belum sampai ke pelosok lain dan masih belum begitu didengar orang. Suku-suku lain tidak mau campur tangan di dalam urusan yang mereka pandang sebagai pertikaian dalam kalangan internal keluarga suku Quraisy, sehingga pertikaian itu selesai.
Seandainya peperangan diizinkan dalam suasana seperti ini, maka ia akan berkesudahan dengan tragedi penyembelihan massal terhadap orang-orang Islam yang terlalu kecil bilangannya itu; walaupun mereka akan melawan serangan itu. Ini akan mengakibatkan musnahnya umat Islam dan menyebabkan ia sukar untuk berkembang, sedangkan Islam itu sendiri adalah suatu panduan hidup untuk seluruh umat manusia.
Demikianlah seterusnya .....
Adapun di Madinah - zaman permulaan hijrah - maka sesungguhnya perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan orang Yahudi dan kaum musyrik Madinah dan kawasan-kawasan sekitarnya (terkenal dalam sejarah Islam sebagai PIAGAM MADINAH, sebagai tanda terbentangnya sebuah negara modern di Madinah, (negara yang memenuhi syarat-syarat bernegara mengikut istilah ilmu kenegaraan di zaman modern ini), adalah merupakan suatu hal yang sangat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pertama: Karena perjanjian itu menjamin kebebasan berdakwah, tidak dihalangi oleh kekuatan politik apa pun, sebab menurut perjanjian itu, semua orang menghormati pemerintahan Islam yang baru muncul di bawah pimpinan Rasulullah SAW.
Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa setiap orang dan setiap golongan tidak boleh membuat sebarang perjanjian damai dan tidak boleh pula mengobarkan perang, juga tidak boleh melakukan hubungan luar, melainkan terlebih dahulu mesti mendapat persetujuan Rasulullah SAW.
Ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan dan kekuasaan di Madinah sebenarnya terletak di tangan orang Islam dan kesempatan berdakwah adalah terbuka lebar, juga kebebasan asasi umat manusia mengenai masalah ini (akidah), terjamin sepenuhnya.
Kedua: Di peringkat ini Rasulullah SAW bermaksud mencari penyelesaian dengan kaum Quraisy yang terus menerus menentangnya, dan juga merupakan penghalang utama bagi kaum lain masuk Islam. Rasulullah SAW juga ingin melihat penyelesaian antara golongan Quraisy yang kontra dengan golongan yang pro Islam. Untuk itu, beliau telah mengambil tindakan segera mengirim pasukan patroli (saroya jama' sariyyah), membawa panji-panji Islam.
Patroli pertama yang dikirimnya ialah yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Rasulullah sendiri) di bulan puasa menjelang bulan ketujuh hijrah.
Pengiriman patroli atau saroyah itu dilakukan pula menjelang bulan kesembilan hijriah, di bulan ketiga belas dan keenam belas hijriah. Kemudian dikirim pula patroli di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy di awal Rajab bulan ketujuh belas hijriah. Ini saroyah pertama yang mengalami pertempuran sengit.
Pertempuran ini terjadi di bulan haram (bulan suci yang dilarang berperang). Pertempuran inilah menjadi sebab turunnya Firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu [wahai Muhammad] tentang hukum berperang di bulan yang dihormati. Katakanlah: Berperang di bulan itu adalah dosa besar; tetapi perbuatan menghalangi [orang Islam dari jalan Allah, kafir kepada Allah menghalangi orang Islam masuk] Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarya; lebih besar [dosanya] di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar [dosanya] daripada berbunuhan [semasa perang dalam bulan haram]. Mereka tidak berhenti-hentinya memerangi kamu sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu dari agama kamu [kepada kekafiran] seandainya mereka sanggup [berbuat demikian].” (Al-Baqarah: 217)
Kemudian peperangan Besar Badar (Badrul-Kubra) terjadi pada bulan Ramadan tahun itu juga dan peperangan itulah yang menjadi sebab turunnya Surah Al-Anfaal.
Kalau hal itu dijadikan dasar dari latar belakang kejadian peperangan ini, maka sama sekali tidak langsung berhubungan dengan alasan “mempertahankan diri” menurut definisinya yang sangat sempit itu, untuk dijadikan dasar bagi gerakan jihad Islam; seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang yang dangkal pikirannya menghadapi realita yang berlaku dan menghadapi putar belit kaum orientalis.
Orang-orang yang sengaja mencari-cari alasan menjalankan gerakan Islam dalam bentuk “mempertahankan diri” saja sebenarnya telah beroleh ilham dan inspirasi dari serangan kaum orientalis. Ketika umat Islam sedang kehilangan kekuasaan seperti sekarang ini, dan bahkan ketika orang-orang Islam sedang kehilangan “Islam” itu sendiri, kecuali orang-orang yang masih dipelihara Allah iman dan semangatnya, yang masih terus melaksanakan proklamasi umum Islam mengenai kebebasan umat MANUSIA di atas BUMI ini dari sebarang kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah SWT, supaya kekuasaan itu menjadi kepunyaan Allah SWT seluruhnya, lalu mereka berusaha dan berjuang terus meniupkan semangat jihad dengan menonjolkan nama dan lambang Islam dengan tujuan untuk memenangkan Islam saja.
Gerakan dakwah Islam tidak memerlukan sebarang pedoman dan fakta sandaran yang lebih tepat daripada panduan wahyu Ilahi ini:
“Oleh kerana itu, maka hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat [yaitu orang mukmin yang mengutamakan kebahagiaan hidup akhirat atas hidup dunia ini] berperang di jalan Allah. [karena] Barangsiapa yang berperang di jalan Allah lalu terbunuh [syahid] atau beroleh kemenangan, maka kelak Kami akan berikan kepadanya pahala yang besar. Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang selalu berdoa dengan berkata “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini [Mekah] yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau”. Orang-orang yang beriman itu berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir pula berperang di jalan taghut [setan] sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (An - Nisaa': 74-76)
“Katakanlah [wahai Muhammad] kepada orang-orang kafir itu: Jika mereka berhenti [dari kekafirannya] Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu. Dan jika mereka kembali lagi [kembali menjadi kafir semula dan memerangi Nabi] maka sesungguhnya akan berlaku [kepada mereka] sunnah [Allah terhadap] orang-orang dahulu”. Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah [gangguan terhadap agama Islam] dan supaya agama itu bagi Allah semata-mata [supaya orang Islam bebas melaksanakan ajaran agamanya].
”Jika mereka berhenti [dari kekafiran dan gangguan] maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling [enggan beriman dan tidak berhenti menceroboh] ketahuilah bahawasanya Allah Pelindungmu dan sebaik-baik penolong.” (Al Anfaal: 38-40)
Dan firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari akhirat dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], yaitu orang-orang [Yahudi dan Kristen] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendahkan diri. Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknat Allahlah mereka. Bagaimana mereka dapat berpaling [dari kebenaran]? Mereka jadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan] Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Suci dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 29-31)
Inilah fakta-fakta sandaran yang mengesakan ketuhanan Allah di “bumi” ini, dan melaksanakan panduan-Nya di dunia ini, serta menghalau setan dan kelompoknya, juga menghancurkan kekuasaan manusia yang menindas dan menekan sesama umat manusia sedangkan semua manusia adalah hamba Allah Yang Maha Berkuasa. Manusia tidak boleh saling menguasai dan saling mengabdi oleh dan kepada sesiapa pun dari kalangan sesama hamba Allah dengan mengatasnamakan diri mereka sendiri atau dengan undang-undang yang bersumber dari hawa nafsu dan pendapat mereka sendiri.
Pada fase ini, mulailah berlaku kalimat “tiada paksaan dalam beragama”, iaitu tiada paksaan untuk menganut agama Islam dan akidah apa pun, setelah seluruh umat manusia terbebas dari pengabdian oleh sesama manusia dan setelah diakui tegaknya suatu dasar bahwa kekuasaan seluruhnya adalah kepunyaan Allah.
Bila mereka ditanya mengenai motif yang mendorong mereka berjuang, mereka tidak akan pernah menjawab, “Kami berjuang untuk mempertahankan negeri kami yang sedang terancam.” Atau, “kami berperang untuk meredam kemaraan musuh dari Parsi dan Romawi yang merongrong kedaulatan negara kami.” Atau, “kami berjuang untuk memperluas kawasan negara kami dan mengumpul harta rampasan.”
Tidak karena semua itu. Namun, mereka akan menjawab seperti jawaban Sayidina Rab'a bin 'Amir, Huzaifah bin Muhsan dan Al-Mughirah bin Syu'bah, kepada Rustam Panglima Angkatan Perang Parsi di Medan Perang Qadisiah yang telah bertanya kepada mereka seorang demi seorang dalam tempo tiga hari berturut-turut sebelum terjadinya pertempuran hebat antara tentara Parsi yang cukup lengkap dengan persenjataan tentara Islam yang kecil jumlah dan sedikit sekali persenjataannya.
Rustam bertanya kepada mereka, “Apakah yang mendorong kamu ke mari untuk berperang dengan kami?”
Jawaban mereka adalah bersamaan antara satu dengan yang lain, tidak berubah dan tidak berbeda. Jawaban mereka berbunyi, “Bahwa Allah telah mengutus kami untuk mengajak dan menyeru tuan-tuan dan semua orang yang memperlihatkan taat setianya kepada sesama manusia untuk bersama-sama dengan kami menyembah dan menuju pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa.
Mereka juga mengajak Romawi dan Parsi untuk keluar dari kesempitan hidup dunia kepada ruang hidup yang lebih luas, di dunia dan akhirat, dari keganasan dan kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam lalu diutus-Nya utusan-Nya kepada seluruh umat manusia. Siapa saja menerima Islam, maka kami sambut mereka dan kami akan meninggalkan negeri mereka. Kami persilakan mereka terus berkuasa di negeri mereka sendiri.
Sebaliknya, siapa saja yang angkuh dan enggan menerima Islam maka kami akan memerangi mereka sehingga kami mendapat kurnia surga Allah atau kami beroleh kemenangan.”
Sebenarnya ada tenaga pendorong di dalam tabiat agama ini dalam proklamasi umum dan juga dalam programnya yang berpijak dalam realita untuk umat manusia, yang sesuai dengan bentuk hidup umat manusia yang beragam. Tenaga pendorong utama itu senantiasa hidup tegak, walaupun tiada sebarang bentuk permusuhan atas negeri Islam dan juga terhadap kedaulatan orang-orang Islam di dalam negeri itu, krena ia adalah tenaga pendorong yang sejati dan asli di dalam program dan realitanya, bukan sekadar bertumpu pada mempertahankan diri saja, yang sangat sementara bentuknya.
Seorang muslim itu cukup mampu untuk keluar berjuang mempertaruhkan jiwa raga dan harta bendanya di “jalan Allah” saja, di jalan dasar dan nilai Allah saja, tiada sebarang keuntungan materi untuk diri dan golongannya, tiada pula sebarang impian kebendaan yang mendorongnya.
Sebelum setiap orang muslim keluar berjuang dan berperang di medan jihad, pada hakikatnya dia telah berhasil mengarungi medan jihad yang amat besar di dalam dirinya sendiri, melawan godaan setan dalam hatinya, menentang nafsu dan syahwat keinginan yang beraneka bentuk, menentang rasa tamak, menentang rasa cinta diri, cinta kaum kerabat dan anak bangsa sendiri, dan bahkan menentang sebarang simbol yang bukan simbol Islam, menentang sebarang dorongan untuk menyembah dan mematuhi sebarang kekuasaan selain Allah dan sebarang halangan dari terlaksananya kekuasaan dan pemerintah Allah di muka bumi ini serta menghancurkan kekuasaan “TAGHUT” dan setan-setan kekuasaan yang merampas kekuasaan Allah.
Orang-orang yang sengaja mencari-cari jalan untuk mendapatkan sebarang fakta sandaran ke arah perjuangan dan jihad Islam dengan tujuan mempertahankan “Negara Islam” saja, orang yang seperti itu adalah orang yang suka merendahkan dasar dan program agama dan memandangnya lebih murah nilainya daripada “negeri”.
Ini bukan konsep Islam yang benar, bahkan ia merupakan suatu teori dan pendapat yang sumbang dan usang sama sekali dari selera Islam; sebab akidah dan program yang mengatur perjalanannya dan masyarakat yang hendak dikuasai oleh akidah dan program itu adalah suatu simpulan kata yang sama dan satu dalam selera Islam.
Adapun “tanah” dan “bumi” saja maka tiada apa nilai dan harga pun, kerana setiap nilai dan harga bagi “tanah” dan “bumi” dalam pandangan Islam adalah berujung pada berkuasanya program dan ajaran Allah di atas “tanah” dan “bumi” itu. Karena itulah maka “bumi” itu menjadi tapak semaian akidah dan juga program itu di dalam bentuk “Negeri Islam”, dan juga merupakan titik permulaan bagi perjalanan ke arah kebebasan umat manusia.
Memang benar bahwa menjaga “Negeri Islam” itu berarti menjaga akidah, program dan masyarakat yang di dalamnya akidah dan program itu berkuasa dan berdaulat. Tapi mesti diingat, ini bukan tujuan terakhir. Bukan tugas menjaga keselamatan menjadi tujuan terakhir bagi gerakan jihad Islam. Kerena mengawal keselamatannya adalah merupakan satu jalan saja bagi tegak dan terlaksananya perintah Allah di dalamnya, juga dijadikan garis permulaan bertolak, sebab umat manusia adalah merupakan alat dan bahan bagi gerakan agama ini manakala bumi dan tanah pula merupakan tempat ia berpijak dan tumbuh mekar.
Kita telah mengatakan bahwa perjalanan membawa dan memikul ajaran agama ini akan dihadang oleh berbagai bentuk halangan, baik yang berbentuk kekuasaan negara, sistem sosial dan politik dan juga berbentuk realita yang menguasai keadaan, sedangkan semuanya adalah hal-hal yang hendak dihancurkan oleh Islam dengan menggunakan kekuatan, supaya seluruh umat manusia dapat hidup bebas berhadapan dengannya, bebas berbicara dan mengetuk pintu hati dan fikirannya, setelah seluruh umat manusia itu dibebaskan dari belenggu, dan setelah mereka beroleh kebebasan penuh.
Kita mestinya tidak mudah terpedaya dengan tipu muslihat kaum orientalis terhadap dasar “jihad” dan kita sekali-kali jangan rela menanggung beban yang ditimbulkan oleh realita dalam kekalutan dunia zaman sekarang, lalu kita mencari-cari motif lain untuk jihad Islam di luar tabiat asal agama ini sendiri, supaya dapat bertahan untuk sementara. Jihad akan terus berjalan, dengan disertai atau tanpa motif itu.
Di samping itu kita membongkar realiti sejarah, kita tidak boleh lupa pokok dan inti tabiat agama ini, dan jangan sekali-kali kita cuba mencampur-adukkan inti itu dengan realiti yang berbentuk pertahanan yang bersifat sementara itu.
Selengkapnya
Putri dan sebuah Nasehat ...
Remaja saat ini yg suka Nampank ... Gaya pluz Narziss |
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya .... ” (QS An-Nur : 31)
Sudah sering mendengar ayat ini? atau mungkin telah mengahafalnya? Ya ... ayat ini menjadi bukti betapa Islam melindungi seorang wanita. Kemuliaan seorang wanita dalam Islam terletak pada usahanya untuk menjaga kehormatan dirinya. Islam telah mengatur bagaimana seorang wanita bisa menjadi mulia dengan akhlaq, menutup aurat dan melaksanakan perintah Allah. Perintah menutup aurat bukan mengekang kebebasan seorang wanita, justru memperlihatkan bahwa Islam mengerti dengan apa yang dibutuhkan oleh wanita.
Bila diibaratkan, terdapat dua buah kue yang sama jenisnya, dijual di tempat yang terpisah, yang satu ditaruh di etalase kaca bertulisan jangan disentuh dan yang satu lagi dibiarkan “berdesakan” dengan jajanan lain tanpa penutup apa-apa dan yang pasti telah sering dipegang oleh tangan-tangan yang belum tentu steril.
Nah, kita diminta memilih, mana yang akan kita beli ? secara logika tentu saja kita pilih yang tidak pernah dipegang karena pasti terjaga kualitasnya. Seperti itu pula wanita, begitu sayangnya Allah sehingga Ia ingin menjadian kita sesuatu yang “mewah” dan suci karena terlindungi ....
sebuah kisah akan mengingatkan kita pada wanita mulia ....
Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya.”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah menyembuhkannya.' Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, aura tku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’ "
Apa amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga? Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam? Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam. Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya.
Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperliha tkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya. Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, dan amalan-amalan salihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.
Subhanallah, ternyata untuk menjadi mulia tidak butuh kosmetik mahal, perawatan kulit untuk menjadi putih dan alat-alat kecantikan lainnya, namun yang dibutuhkan hanya kesabaran dalam “memutihkan” hati dan menjaga kesucian diri.
Sekarang, patutlah diri di depan kaca, dan katakanlah bahwa saya akan menjadi seorang wanita mulia mulai sekarang dan nanti. Kenapa nanti? karena tidak ada yang tahu apakah kita masih seperti sekarang besok, beberapa hari lagi bahkan bertahun-tahun berikutnya, karena baiknya iman kita saat ini ... ketulusan yang hadir hari ini belum tentu bertahan hingga nanti jika tidak ada usaha untuk memperbaiki diri.
Kesempatan untuk memompa semangat tidak selalu datang begitu saja, ia butuh diberi sebuah asupan dari saat ini, keinginan untuk terus berubahpun tak datang tiba-tiba karena butuh keteguhan dan kekuatan cinta pada Ilahi. Modal tersebut akan didapat melalui proses pencarian sebuah ilmu yang mampu memantapkan hati kita bahwa muslimah seperti inilah yang diharapkan muncul dari sebuah generasi pembaharu.
Muslimah yang teguh dengan hijabnya, yang terus menambah wawasan keislamannya dan muslimah yang mampu mempengaruhi orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Jilbab yang hadir di tengah masyarakat yang gersang akan ilmu agama bisa menarik orang lain untuk mendalami Islam, apalagi bila ditambah dengan kecerdasan dan talenta yang dimilki oleh muslimah tersebut,maka akan dapat menimbulkan tarikan yang lebih kepada mereka.
Berangkat dari pemahaman inilah terdapat kesimpulan bahwa ancaman muslimah dalam kehidupannya dipengaruhi oleh lingkungan yang homogen dan heterogen. Hanya tinggal muslimah itulah yang berusaha untuk menjaga dirinya sekarang dan hingga nanti ... Wallahu’alam bishowwab
Penulis:
Ryan Muthiara Wasti
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ryan_muthiara@yahoo.com
----------
Cantiknya Ibu & Isteriku
Kecantikan dapat direkayasa tidak hanya melalui bentuk fisik yang elok dan menawan. Kepribadian dan prestasi cantik-lah yang justru secara lebih dominan akan memancarkan aura kecantikan di dalam tubuh seorang manusia. Demikian kira-kira “ajaran” spiritual-beauty yang pernah disampaikan al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya.
Ada kenyataan ironis bahwa akhir-akhir ini masalah kecantikan justeru sering tereduksi maknanya hanya dalam pengertian cantik secara fisik dan bentuk. Fenomena yang jauh sekali berbeda dengan apa yang dipesankan al-Ghazali di atas.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kaum bijak berpendapat, ketika manusia terkungkung dalam kebobohan dan keterbelakangan, maka semakin dalam dan jauh ia terjebak dalam kungkungan itu, akan semakin kuat pula kecenderungan dirinya untuk lebih memperhatikan hal-hal yang berupa bentuk, performa, penampilan dan prosedur, ketimbang isi dan substansinya.
Mestinya, kedua sisi yang berupa bentuk dan isi, performa dan substansi, atau prosedur dan nilai itu bisa berjalan seiring. Dan lebih idealnya lagi, jika bentuk, performa dan prosedur yang timbul adalah karena keberadaan isi, substansi dan nilai yang sebelumnya sudah kuat dan mengakar.
Inilah sebetulnya problem global yang sedang dihadapi umat manusia modern secara umum yang hidup dalam kungkungan budaya materialistik. Meskipun tampaknya sudah sedemikian maju dan makmur, tapi pada hakikatnya sangat terbelakang dan kering nilai!
Wanita Berkarir dan Bekerja
Adalah sebuah realitas bahwa kompetisi hidup dan tekanan ekonomi global dewasa ini seringkali membuat perempuan tidak punya pilihan kecuali harus bekerja demi kelangsungan hidup keluarga, seperti menjadi buruh, PRT, pedagang kecil, dan berbagai pekerjaan lain karena tuntutan hidup. Perempuan yang bekerja karena tidak ada pilihan selain bekerja ini kita sebut perempuan bekerja.
Di sisi lain ada banyak perempuan yang memiliki pengetahuan, pendidikan dan pengalaman memadai. Kebutuhan mereka untuk aktualisasi diri bertemu dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dunia pendidikan dan dunia-dunia lain yang memerlukan hadirnya orang-orang yang profesional dan berkompeten. Perempuan yang bisa memilih pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan dan sekaligus menjadi sarana aktualisasi diri inilah yang biasa kita sebut sebagai “wanita karier”.
Pada prinsipnya, dalam Islam memang tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja dan berkarir di bidang apa saja ?asal dilakukan dengan cara yang baik, benar dan halal, sesuai ketentuan syari’at. Bahkan, pada tataran aplikatif, Islam telah memberikan apresiasi positif dan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan ”pekerja” yang gigih sekaligus berkenan membantu keluarganya.
Muslimah Berprestasi
Sebagai contoh kasus, misalnya, Alquran sempat mengangkat kisah dua perempuan bersaudara suku Madyan yang harus bekerja dan keluar agak jauh dari rumah untuk mendapatkan air setiap harinya, karena bapaknya seorang tua renta yang lemah (QS. al-Qashash, 28: 23). Kedua perempuan ini, menurut beberapa ahli tafsir, adalah puteri Nabi Syu’aib as.
Kemudian, sejarah awal Islam juga mencatat banyak figur perempuan sahabat Nabi yang terjun dalam berbagai bidang usaha. Sebut saja, misalnya, Khadijah istri Nabi yang dikenal sebagai komisaris perusahaan; Ummu Salim binti Milhan yang menekuni bidang tata rias pengantin; Zainab binti Jahsy yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang; Al-Syifa’ yang berprofesi sebagai sekretaris ?dan pernah diangkat Khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai kepala pasar kota Madinah; Istri Abdullah ibn Mas’ud yang dikenal sebagai pengusaha wiraswasta dari kalangan perempuan yang sukses.
Semua itu menandakan betapa Islam, hingga pada tataran tertentu, sangat apresiatif dan welcome terhadap perempuan yang bekerja dan berkarir. Karena itu, tak heran bila Aisyah berkomentar, ”… alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan kaum laki-laki, yakni di saat mereka berjihad…”.
Peran dalam Keluarga
Terkait dengan pembagian peran dalam keluarga, menurut ajaran Islam, keharusan memberi nafkah memang merupakan tanggung jawab utama suami, atau dengan kata lain isteri punya hak mendapatkan sebagian harta suami untuk mencukupi semua kebutuhan dasarnya. Namun, fakta di lapangan tentunya tidak sepenuhnya sama dengan apa yang diharapkan. Kenyataannya, tidak semua suami mampu memenuhi semua kebutuhan dasar isteri dan keluarganya.
Dalam situasi di mana isteri sesungguhnya tidak wajib menafkahi keluarga tetapi ia berkenan memberikan sebagian hartanya kepada suami dan anak-anak, maka hal itu tercatat sebagai sedekah yang berpahala ganda, yakni pahala sedekah dan pahala membantu keluarga (HR. Bukhari-Muslim). Itulah ”nilai plus” yang diberikan Islam kepada muslimah yang ”berkekayaan” atau berpenghasilan sendiri serta berkenan membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.
Kode Etik
Pada tataran operasional, hal-hal prinsip yang harus diperhatikan dan dilakukan seorang muslimah dalam meniti karir dan bekerja adalah:
1. Terus membangun kesadaran bahwa bekerja dan berkarir adalah sarana mencarai ridha Allah. Dengan demikian di lingkungan kerja seorang muslimah akan senantiasa menjaga integritas, moralitas, dedikasi, dan profesionalitas sehingga citra positif muslimah terjaga.
2. Senantiasa menjaga keseimbangan diri, perasaan, pikiran, tenaga dan waktu ?dalam peranannya sebagai ibu bagi anak-anak, sebagai isteri bagi suami, dan sebagai seorang profesional dalam lingkungan kerja.
3. Bersinergi dengan pasangan/suami dan mitra keluarga lainnya dalam berbagi peran dan tugas rumah tangga sehingga tercapai kesepahaman yang baik dan kondusif.
4. Senantiasa mengingat bahwa kepentingan dan keutuhan keluarga adalah yang pertama dan terpenting.
Dalam konteks ini, figur teladan yang dapat dijadikan rujukan adalah sayyidah Khadijah ra., yang telah memberikan contoh bagaimana perempuan muslimah dapat sukses menekuni dan mengembangkan bidang usaha, tanpa kehilangan jatidiri, tetap taat pada norma-norma dan etika agama, serta mampu menjaga keseimbangan peran dan pola relasi dalam keluarga.
Caktiknya Ibu Rumah Tangga
Jejak sejarah para muslimah yang sukses berkreasi dan berprestasi di atas memang sangat membanggakan. Dan hal seperti itulah, menurut al-Ghazali, yang akan membentuk aura kecantikan seseorang.
Selain wanita karir dan pekerja yang sukses dan berprestasi juga terdapat sosok perempuan lain yang tak kalah hebat dan bahkan bisa dibilang memiliki aura kecantikan yang lebih kuat. Yaitu, ibu-ibu rumah tangga yang sukses mengantarkan anak-anaknya ke tingkat kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Betapa banyaknya kisah-kisah kepahlawanan wanita di dunia ini yang karena kepiawaiannya sebagai ibu dapat membesarkan anak-anak super yang di tangan mereka peradaban-peradaban besar dunia terbentuk.
Kita pasti masih ingat siapa itu bunda Maryam dan Asiah. Dua wanita super yang berhasil mendampingi pertumbuhan dua anak super, yaitu Nabi Isa dan Musa. Di tangan merekalah sejarah dua peradaban besar dunia berbasis agama Nasrani dan Yahudi terukir dalam, hingga bisa kita rasakan dampaknya sampai sekarang. Begitu juga dengan Nabi Muhammad yang melahirkan peradaban Islam. Beliau juga tidak terlepas dari dampingan wanita-wanita super, mulai dari ibu kandung yang hebat: sayyidah Aminah, sang penyusu penuh kasih: Halimah as-Sa’diyah, dan isteri setianya yang super: Khadijah Binti Khuwailid.
Memang sungguhlah cantik ibunda dan isteri kita. Mereka itulah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa yang patut diagungkan dan disyukuri keberadaannya. Mungkin, inilah kecantikan sejati yang dimaksudkan al-Ghazali dalam pesan-pesan spiritualnya di atas. Sebuah kecantikan universal yang didambakan setiap insan.
Gaya hidup berbasis spiritual seperti ini juga yang sangat perlu kita bangun di tengah ketidakmenentuan nasib dunia sekarang ini.*Umar Fayumi
Selengkapnya